CONTOH REVIEW BUKU
CONTOH PERTAMA:
JUDUL BUKU “PIJAR-PIJAR FILSAFAT”
JUDUL BUKU “PIJAR-PIJAR FILSAFAT”
PENULIS: FRANS MAGNIS
SUSENO
Suseno, Frans Magnis. 2005. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
BAB 1
RASIONALITAS, RASIONALISME DAN AGAMA
1.1.AKHIR
ABAD KE-20: KEKACAUAN
Seratus
lima puluh tahun lalu filosof Perancis Auguste Comte (1798-1857) merumuskan apa
yang disebutnya “hokum tiga tahap”: Roh manusia dalam perkembangannya melalui
tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik.
Tahap
teologis adalah tahap kekuasaan kasta pendeta dan ksatria; disitu manusia
menjelaskan kejadian-kejadian alami dari jiwa yang ada dalam benda-benda alami
itu atau dari kekuatan-kekuatan adi-duniawi; Comte disini memasukkan fetisisme,
politisme, dan monoteisme. Tahap itu dibuka oleh para filosof Yunani yang
bertanya tentang archei, dasar-dasar realitas yang ada. Para filosof itu
menjelaskan realitas dengan sebab-sebab, “idea-idea” dan “kekuatan-kekuatan”
abstrak. Tahap terakhir yang positivistic adalah tahap ilmu pengetahuan, tahap
persatuan teori dan praktek, dimana manusia, melalui pengamatan dan eksperimen,
berusaha untuk semakin memahami kaitan-kaitan antara gejala-gejala yang dialaminya;
kaitan-kaitan yang tetap dirumuskan sebagai “hokum” misalnya hukum alam.
Dalam
“hukum tiga tahap” itu Comte berhasil merumuskan dengan tepat apa yang
merupakan “kepercayaan” abad ke-19 yang sekaligus menjadi abad dimana
saintifisme (scientism), kepercayaan
pada ilmu pengetahuan dan kemajuan, mecapai puncaknya: Bahwa manusia baru
menjadi rasional dan dewasa apabila segala mitos, agama, dan filsafa abstrak
metafisik diganti oleh ilmu pengetahuan. Jadi, ia melihat suatu garis kemajuan
umat manusia kearah pembebasan mental
dari kepercayaan-kepercayaan yang “tidak rasional”; dari mitos dan agama
(sekarang pencampuran antara mitos dan agama yang dianggap kebodohan besar
Comte; dua-duanya jelas harus dibedakan), melalui filsafat ke sikap ilmiah.
Manusia ilmiah yang bebas dari mitos, agama, dan metafisika itulah baru manusia
yang rasional.
1.
Sekarang
pada akhir abad ke-20, tidak ada orang di Barat yang masih percaya pada “hukum
tiga tahap” Comte itu. Terlalu mencoloklah irasionalisme dalam abad ke-20 yang
kelihatan justr meledak bersamaan dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang semakin
mengesan (dan yang masih berjalan terus). Nada rohani Barat yang dalam abad
ke-19 optimis, dalam abad ke-20 menjadi pesimis, sekurang-kurangnya secara
tersembunyi. Optimisme kemajuan abad ke-20 lain daripada optimism abad
sebelumnya. Optimisme abad ke-20 adalah optimism pura-pura, optimism
seakan-akan, mirip dengan senyuman Oom Pasikom yang miring.
Untuk
memahami kekacauan sekitar rasionalitas ilmiah, ada gunanya kita mengikuti
sebentar perubahan cuaca dari optimism sungguhan ke “optimism seolah-olah” yang
lebih mirip pesimisme itu. Ada banyak sebab yang membuat manusia Barat modern
ragu-ragu atas situasinya. Dalam sastra barat sebelumnya perang dunia pertama
tanda-tandanya sudah nampak. Misalnya Franz Kafka dengan roman-roman mengerikan
dimana manusia semakin tersangkut dalam labirin administrative yang berakhir
dengan kematiannya. Pengalaman dahsyat yang merobek rasa puas diri orang Barat
adalah perang dunia pertama.
Maka jelaslah pula bahwa manusia modern tidak lagi
percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat menyelamatkan dia. Bukan seakan-akan ilmu
pengetahuan dianggap kurang penting. Ilmu pengetahuan malah dipacu terus,
terutama oleh mekanisme-mekanisme ekonomis. Akan tetapi, orang tida mengharapkan
bahwa ia akan selamat karenanya. Ia sadar betu bahwa ilmu pengetahuan tidak
dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana kita dapat menciptakan perdamaian
dan mencapai kebahagiaan.
1.2.MASALAH
RASIONALITAS ILMIAH
Situasi
itulah yang menjadi latar belakang pertanyaan tentang rasionalitas ilmiah. Apa
yang diwaktu Comte kelihatan begitu sederhana, sekarang disadari betul-betul
tidak sederhana. Pertanyaan disini adalah apa itu rasionalitas ilmiah
Sebagai
warisan padangan-pandangan seperti yang dari Augustu Comte, rasionalitas ilmiah
sekarang pun masih sering dianggap berarti; dapat dibuktikan dengan bukti
empiris. Ada pengamatan Indrawi yang dapat didokumentasikan yang dapat
diverisikasikan dengan eksperimen. Puncak anggapan itu adalah Positivisme Logis
tahun 20-an abad kee-20 yang hanya menerima dua macam pernyataan sebagai
bermakna: pernyataan analistis, seperti misalnya dalam ilmu pasti, dan
pernyataan-pernyataan empiris yang dapat, dan harus dapat diverifikasikan.
Dengan demikian, segala keyakinan etika, metafisika, dan agama diklarifikasikan
sebagai tidak rasional.
Akan
tetapi, anggapan postivistik itu tidak pernah berhasil diterima umum.
Kelemahannya terlalu mencolok. Misalnya saja keyakinan-keyakinan moral. Memang
betul: keyakinan-keyakinan moral tidak dapat dibuktikan seperti dapat
dibuktikan bahwa bumi mengitari matahari. Akan tetapi, hal itu tidak berarti –
sebagaimana dikatakan oleh kaum positivis – bahwa keyakinan-keyakinan moral
sekedar perasaan saja.
Begitu
pula halnya dengan agama. Tentu kebenaran agama tidak dapat dibuktikan dengan
argumentasi empiris karena Tuhan sendiri tidak termasuk dunia empiris. Tetapi
bagi orang Beragama, agama bukan selera, melainkan menyangkut kebenaran. Ia
yakin bahwa Allah itu ada, bukan karena ia senang, melainkan karena Allah
memang ada, dan ia juga yakin bahwa penyangkalan adanya Allah itu salah. Begitu
pula ia yakin terhadap kitab-kitab suci-sucina. Anggapan postivisme bahwa
pertanyaan sekitar Tuhan dan alam di duniawi itu tidak berisi, jelas
bertentangan dengan kesadaran mereka yang bersangkutan, orang beragama.
Sering
juga dikatakan secara sloganistik bahwa agama bertentangan dengan ilmu
pengetahuan, tetapi dasar anggapan itu amat tipis. Di Eropa, dilingkungan agama
Kristen, misalnya, hanya ada dua contoh konflik antara ilmu pengetahuan dan
agama, kasus Galileo dan masalah evolusi (Darwinisme). Dari dua kasus itu pun
yang pertama adalah akibat suatu salah paham. Yang memang menantang agama
adalah ajaran evolusi.
Akan
tetapi, apakah pertentangan antara ajaran evolusi dan Kitab Suci
sungguh-sungguh atau hanya karena kita salah membaca Kitab Suci? Apakah antara
ilmu dan iman benar-benar ada pertentangan? Bahwa antara agama dan ilmu
pengetahuan bias ada kesan perbedaan tidak perlu disangkal.
1.3.SEKELUMIT
SEJARAH HUBUNGAN ANTARA IMAN DAN PENGETAHUAN
Kebenaran
hanya ada satu. Dan hanya mungkin ada satu karena dua-duanya baik akal budi
manusia maupun wahyu berasal dari Pencipta yang sama. Dari Thomas Aquinas dunia
Katolik mewarisi keyakinan bahwa tak mungkin ada pertentangan antara ilmu
pengetahuan dan iman. Kalau ada, maka salah satu mesti salah; atau ilmu
pengetahuan, atau pengertian yang diberikan terhadap wahyu. Maka, adanya
pertentangan antara ilmu pengetahuan dan iman mesti menjadi alasan untuk
mengadakan refleksi iman maupun ilmu.
Fides querrens intellectum berarti: Iman mencari
pengertian. Artinya percaya dalam arti sesungguhnya bukan sesuatu yang buta,
melainkan manusia ingin dan perlu mencoba memahami apa yang diimaninya. Ucapan
itu lawannya sikap credo absurdum
“aku percaya karena tidak masuk akal”. Filsafat teologi Katolik menolak yang
terakhir itu. Meskipun kita tidak dapat mengerti hakikat Ilahi, tetapi iman
bukan sesuatu yang buta; kita dapat memahami bahwa iman kita bukan sesuatu yang
kontradiktif, aneh, tak masuk akal. Anggapan ini bukan berdasarkan keyakinan
bahwa baik iman maupun akal budi manusia berasal dari pencipta yang sama; dan
oleh karena itu, tidak mungkin saling bertentangan.
Segala
keabsahan tidak boleh begitu saja diandalkan, melainkan harus disangsikan dulu
kalau kita mau mencapai pengetahuan mendasar. Immanuel Kant (1724-1804),
filosof zaman modern yang paling berpengaruh, mencoba membuktikan bahwa
pengetahuan pasti hanya dapat tercapau mengenai hal-hal indrawi. Dengan
demikian, pengetahuan pasti dibidang etika dan metafisika menjadi tidak
mungkin.
Maka,
dalam abad ke-19 agama sering dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan: Orang
yang rasional mengikuti ilmu pengetahuan, sedangkan orang yang beragama adalah
orang irasional, orang yang masih terlibat dalam pemikiran mitos (dan kasus
Galilei lalu menjadi kasus untuk memperlihatkan betapa anti-ilmunya sikap
agama).
Hermeneutika
adalah ilmu mengenai bagaimana arti suatu ungkapan manusiawi dapat dipahami
betul, baik ungkapan lisan maupun tertulis. Hermeneutika merupakan ilmu kunci
dalam usaha memahami arti teks-teks sejarah dan kitab-kitab suci . menurut
hermeneutika, kita tidak mungkin memahami sebuah teks sesuai dengan maksudnya
apabila kita tidak masuk kedalam “cakrawala” pengertian mereka yang menulisnya
(misalnya saja, dalam tulisan ribuan tahun lalu jangan dicari jawaban tentang
masalah evolusi, karena waktu tulisan itu ditulis, para penulis sedikit pun
tidak memikirkan evolusi; jadi dalam teks kuno itu ajaran Darwin itu tidak mungkin
didukung dan sama saja tidak mungkin disangkal.
BAB 2
TEKNOLOGI DALAM
TAYANGAN FILOSOFIS
2.1.TEKNOLOGI
DALAM REFLEKSI FILOSOFIS
Dengan teknologi dimaksud usaha ilmiah, yaitu
ilmu-ilmu alam, untuk meneliti kekuatan-kekuatan alam bertujuan untuk memanfaatkannya
dan mengembangkan teknik. Dimana teknik adalah pemanfaatan kekuatan-kekuatan
alam untuk menciptakan barang-barang yang dibutuhkan manusia.
2.2.REFLEKSI
ATAS TEKNOLOGI MENJADI KRITIS
Yang
menjadi ciri kesibukan filsafat dengan teknologi – yang cukup jarang itu tadi –
adalah keterbukaan dan sikap positif. Teknologi sebagai perpanjangan pekerjaan
yang membantu manusia, mengembangkan manusia dan membawa alam ke realisasi
potensi-potensinya.
Kritik
lebih mendasar terhadap pengembangan teknologi yang seakan-akan melegitimasikan
dirinya sendiri dating dari mereka yang menjadi sadar akan ancaman terhadap
lingkungan hidup alami manusia. Imperative-imperatif teknologis sendiri tidak
memuat parameter apapun untuk memperhatikan keseimbangan eksositem bumi, jadi
untuk menjaga keutuhan lingkungan hidup. Seharusnya, pengembangan teknologi dan
pemakaiannya sedemikian rupa sehingga apa yang diambil akan diganti dan yang
dirusak akan disembuhkan. Keutuhan lingkaran organic ekosistem perlu
dipertahankan.
2.3.LOKALISASI
MASALAH
2.3.1
Pesona Teknologi
Terdapat
dua masalah yaitu di level dampak langsung pemakaian teknologi terhadap
lingkungan hidup alami dan sosial, dan bahwa teknologi mengembangkan
dinamikanya sendiri seakan-akan asal suatu kebijakan sesuai dengan kemajuan
teknologi, masalah legitimasi etis tidak muncul lagi.
2.3.2. Modernitas
Akan tetapi kiranya sudah menjadi jelas bahwa
keberatan dan ketakutan terhadap teknologi sebenarnya tidak menyangkut
teknologi itu sendiri, melainkan dinamika budaya dan normative masyarakat
modern secara keseluruhan.
Salah satu modernitas terletak dalam
pendangkalannya. Modernitas menyentuh masyarakat kita lewat symbol-simbol yang
dangkal: supermarket dan mall, iklan di televisi, mode yang trendy dan “asyik”,
budaya disko, dan lain sebagainya. Pesan yang terkandung didalamnya, kalau
tidak dikaji betul-betul, bisa mengerogoti resistensi cultural kita.
Pesan-pesan itu misalnya: Penderitaan, penyakit, cacat tidak mempunyai nilai,
orang yang “sukses” adalah orang sehat, vital, dan sebagainya. Orang itu modern
asal trendy, berapakaian modern, memakai simbol-simbol modernitas (menurut
iklan). Orang itu menjadi orang karena berpegangan pada produksi modern karena
ia bekerja dengan jujur, ulet, kompeten, bertanggungjawab. Jadi, ancaman
konsumenrisme ialah mengukur tingkat kemanusiaan dari tingkat konsumsi yang
didekti iklan. takhayul bahwa kita menjadi orang modern asal bersentuhan dengan
simbol-simbol globalisasi (budaya mall).
Terhadap trend ini kita dapat melawan dengan percaya
diri, yakin bahwa kita ini menjadi orang karena kemampuan nyata kita, karena
kita berkomunikasi dengan orang lain, karena kita dapat menyumbangkan sesuatu
pada kebahagiaan orang lain, dan bukan karena merek celana jeans. Kemantapan
dalam keyakinan agama dapat membantu disini.
Masalahnya bukanlah teknologi sendiri, melainkan
teknologi sebagai komponen budaya modernitas. Inilah, menurut hemat saya,
tempat dimana tantangan yang sebenarnya kita hadapi. Salah satu masalah
modernitas terletak dalam pendangkalannya. Modernitas menyentuh masyarakat kita
lewat symbol-simbol yang dangkal: supermarket dan mall, iklan di televisi, mode
yang trendy dan “asyik”, budaya disko, dan lain sebagainya.
2.4. RASIONALITAS
YANG RASIONAL
Jadi,
monism rasionalitas ilmiah dalam abad ke-20 telah didekonstruksikan oleh para
filosof. Tidak ada satu model rasionalitas. Anggapan pada abad lalu bahwa suatu
anggapan itu rasional semakin mirip dia dengan metode fisika, telah dibongkar
sebagai menyesatkan, jadi sebagai justru tidak rasional.
Maka
dari itu, masalah rasionalitas ilmiah – yang disamakan dengan rasionalitas
metodologis ilmu fisika – masih sangat membingungkan para pemikir beragama
apalagi masyarakat, padahal sebenarnya tidak ada masalah
Rasionalitas
kehidupan beragama tidak dapat dipertahankan dengan menutup diri terhadap
modernitas. Penutupan itulah yang sebenarnya dimaksud dengan fundamentalisme.
Melainkan, orang beragama harus berani untuk membuka diri terhadap segala sudut
rasionalitas modern, terhadap metodologinya, terhadap hemermeutikanya, terhadap
kritiknya (yang umumnya tidak menyangkut isi agama, melainkan metode
“pengamanan” oleh para penganutnya). Tidak perlu takut bahwa agama akan berada
dalam bahaya apabila membuka diri terhadap tuntutan rasionalitas ilmiah modern.
Masing-masing
wilayah penelitian ilmiah manusia ditangani dengan metode yang sesuai dengan
cirri khas wilayah itu, misalnya: psikologi melalui intropeksi, komunikasi,
eksperimen, sosiologi, melalui pengamatan dan usaha pemahaman, dan lain
sebagainya.
Rasionalitas
ilmu teologi, misalnya harus dikembangkan baik dalam diskursus antara para
teolog dari agama yang bersangkutan sendiri maupun dalam diskursus dengan
kalangan-kalangan luar dengan teolog-teolog agama-agama lain, dengan para
filosof, dengan pernyatan-pernyataan ilmu-ilmu lain yang misalnya menyerang.
Rasional
berarti: mempertanggungjawabkan pendiriannya terhadap pertanyaan kritis,
tantangan, dan serangan argumentative, sangkalan dan bantahan. Dalam proses
itu, posisi awal justru menjadi lebih kuat karena semakin dapa menempatkan
diri. Sedangkan, rasionalistik menganggap bahwa kita hanya boleh mempercayai
sesuatu yang sudah terbukti betul. Tuntutan itu non-sense besar. Sebagai
makhluk social, manusia dalam kebanyakan kepastian harus mengandalkan
lingkungan sosialnya.
Lingkungan
rasionalitas ilmiah adalah lingkungan komunikatif antara ilmuwan dari bidang
sama; para dokter, para ahli kimia, para filosof, ahli-ahli ilmu social, serta
lingkungan dimana para ahli dari perbagai ilmu itu bertemu. Aktualisasi
lingkungan itu bisa dalam bentuk kegiatan di universitas, lembaga pengajaran,
dan penelitian, di seminar, dan lokakarya, lewat publikasi majalah profesi dan
ilmu.
Pluralitas
rasionalitas modern itu, mempunyai implikasi politis yang penting; perlu
diusahakan pola kehidupan bersama, dalam bahasa kita: Pola kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dimana baik kesatuan warga negara.
BAB 3
FILSAFAT DIANTARA
ILMU-ILMU
Karena filsafat itu sukses, justru karena ia
memperhatikan segala-galanya, maka ia juga makin menyadari bahwa segala sesuatu
harus diselidiki menurut kekhasannya sendiri. Masing-masing menuntut metode
penelitiannya sendiri-sendiri. Dan karena itu, mulailah perjalanan selama 2000
tahun ilmu emigrasi keluar dari lingkup induknya semula, filsafat, ilmu-ilmu
khusus, satu demi satu lahir, mandiri, dan meninggalkan filsafat. Sampai ada
orang yang mengkhawatirkan masa depan filsafat: Jangan-jangan filsafat akhirnya
akan habis sendiri. Seakan-akan tinggal menunggu saja kapan seluruh bidang
realitas diselidiki oleh ilmu-ilmu tersendiri, sehingga bagi filsafat tidak ada
pekerjaan lagi. Begitulah misalnya pendapat tokoh postivisme abad ke 19, August
Comte. Menurut Comte, manusia menuju kezaman ilmu pengetahuan positif, dimana
lantas tidak aka nada tempat dan kebutuhan lagi bagi filsafat.
3.1. FILSAFAT
MENEMUKAN DIRI
3.1.1.
Filsafat
menemukan diri kembali dalam dua arti. Pertama, filsafat sekali lagi mengangkat
agendanya sendiri. Ia bukan ilmu pembantu. Ia dimajukan oleh orang-orang yang
tertarik untuk berpikir, yang ingin mengerti, memahami, menangkap sesuatu yang
tidak terletak ditengah jalan orang banyak. Filosofis tampak terperangkap dalam
jarring-jaring pertanyaan metodis, sekarang dengan penuh keyakinan etika
kembali ke medan tantangan moralitas umat manusia. Pertanyaan-pertanyaan
penting manusia tentang bagaimana ia mau hidup berhadapan dengan
tantangan-tantangan modernitas tanpa kehilangan harga diri hanya dapat didekati
melalui filsafat. Baik tradisi maupun agama tidak berdaya terhadap
tantangan-tantangan itu, sedangkan menarik diri kembali kedalam tradisi
ekslusif keagamaanya tak beda bak katak dalam terpurung. Tetapi wilayah kedua
khas filsafat tradisional, metafisika, juga mulai digeluti lagi. Pertanyaan
tentang keseluruhan realitas tidak dapat dihindari lagi.
3.1.2.
Filsafat
bertugas menyertai ilmu-ilmu. Filsafat bukan ratu ilmu-ilmu, bukan juga
abdinya, bukan penunjuk jalan dan bukan penyedia metode. Ia menyertai saja,
itulah. Menyertai dengan komentar, catatan, kritikan, dan usulan-usalannya. Ia
menawarkan wawasan yang melampaui keterbatasan metodis masing-masing ilmu; dan
dengan demikian, membuka intellectual space para ilmuwan untuk menggagas
perubahan metode, sampai ke perubahan paradigm. Sebagai contoh dapat diambil
pengaruh filsafat dalam pengembangan fisika mikro serta relativitas yang
seandainya dua-duanya tanpa wawasan dan keberanian filosofis, terutama
epistemologis, tidak mungkin akan berhasil dirumuskan. Atau peluang wawasan
yang didapati sosiologi dari Teori Kritis “Frankfurt”.
Filsafat selalui mempunyai dua arah yang saling
melengkapi: filsafat merefleksikan pengalaman manusia, dan filsafat menanggapi
pemikirannya. Jadi, filsafat selalu memperdalam apa yang dialami manusia dalam
hidup sehari-hari, baik pengalaman istimewa maupun pengalaman biasa. Filsafat
seakan-akan lahir dari rasa heran: karena heran, filsafat ingin tahu. Dan sejak
kelahirannya, filsafat merupakan suatu kegiatan dialektis: para filosofis
saling menanggapi dan saling mengkritik. Yang khas bagi filasafat yang lahir di
Yunan adalah cirinya yang argumentative. Itulah yang membedakannya dari ajaran
kebijaksanaan di India, Cina, atau Jawa. Di India, Cina, dan Jawa pun manusia
berpikir dalam-dalam. Tetapi bahwa manusia saling mengkritik, bahwa filsafat
menuntut pertanggungjawaban rasional atas sebuah spekulasi, itu muncul di
Yunani. Hanya filsafat argumentative yang mempunyai potensialitas untuk
melahirkan ilmu-ilmu karena hanya filsafat argumentatiflah yang mendobrak
mitos; dan dengan demikian, memungkinkan pendekatan spesialistik dan, jauh kemudian,
eksperimental. Filsafat semakin kritis sesudah agama-agama monoteis merebut
sebagian besar dari wilayah pemaknaan yang dulu juga dilayani oleh filsafat.
3.2. TANTANGAN
FILSAFAT
Keberadaan
filsafat secara historis, mampu merubah pola pikir bangsa yunani dan umat
manusia yang awalnya berpandangan mitosentris menjadi logosentris. Yang awalnya
berpandangan bahwa semua yang terjadi di alam jagad raya ini adalah kehendak
dewa, kini justru dirubah menjadi pola rasio yang memang terjadi secara
teoritis dan sistemik.
Pola pikir
yang berubah pesat dari pola mitosentris menjadi logosentris ini, tidak
berdampak kecil bagi kelangsungan hidup manusia. Alam yang tadinya ditakuti
karena kepercayaan dan ketakutan kepada dewa sangat tinggi, kini dapat didekati
bahkan dieksploitasi. Perubahan itu dapat kita jumpai pada temuan-temua hukum
alam dan teori-teori ilmiah, yang hari ini banyak dipelajari dan menjadi acuan
akademik. Untuk mengkaji alam jagad raya ini, dapat kita lakukan dan kita
temukan dengan pendekatan astrologi, fisikia, kimia, dll. Sedangkan alam
kemanusiaan dapat kita jumpai dengan pendekatan sosiologi, biologi, psychology,
dll. Ilmu-ilmu tersebut kemudian terspesialisasikan, dan dipersempit, sehingga
bersifat aplikatif dan sangat dapat dirasakan manfaatnya.
Ilmu yang
terspesialisasikan baik kedalam pendekatan makrokosmos maupun mikrokosmos,
kemudian dalam perkembanganya, Ilmu terbagi kedalam beberapa disiplin yang
membutuhkan pendekatan, objek dan ukuran yang berbeda-beda antar disiplin ilmu
yang satu dengan lainya. Sehingga, cabang ilmu semakin subur dengan segala
varietasnya.
Ilmu yang
kemudian terbagi kedalam variasinya masing-masing itu, kemudian tak dapat
dipungkiri terbentuknya sekat-sekat antar disiplin ilmu lainya, sehingga muncul
arogansi-arogansi antar ilmu tersebut, bahkan bukan hanya sekat dan
arogansinya, akan tetapi akan terjadi pemisahan antara ilmu dengan cita
luhurnya yang bertujuan untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan lebih bahaya
lagi jika kemudian, ilmu menjadi bencana bagi kehidupan umat manusia, sehingga
menimbulkan kekacauan sosial dan kekacauan alam yang belakangan juga sudah kita
rasakan, seperti adanya pemanasan global dan dehumanisasi di sekitar kita.
Kekacauan-kekacauan
yang melanda, baik alam makrokosmos maupun mikrokosmos yang sudah terdeskripsi
itulah, yang kemudian menjadi sebuah tantangan sekaligus menjadi masa depan
ilmu. Karena bak 2 bilah pisau, semakin ilmu berkembang dan
maju, justru semakin besar kekhawatiran yang timbul, sedangkan tidak ada
otoritas manapun yang mampu membendung laju ilmu tersebut. Seiring dengan
perkembangan Ilmu, Kant mengatakan bahwa, apa yang dikatakan rasionalitas itu
adalah masuk akal, dan ilmu yang berdasarkan rasionalitas tidak memiliki batas
kecuali rasionalitasnya sendiri, sedangkan rasionalitas tak terbatas oleh
apapun kecuali oleh hukum alam, bahkan tidak ada yang mengetahui sampai mana
batasan hokum alam, baik batasan ruang maupun waktu. Maka Ilmu akan tetap
melaju sampai mana Ilmu itu dibutuhkan.
0 comments:
Post a Comment