Tuesday 20 June 2017

CONTOH TUGAS FILSAFAT ILMU

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

CONTOH REVIEW BUKU

CONTOH PERTAMA: 

JUDUL BUKU “PIJAR-PIJAR FILSAFAT”
PENULIS: FRANS MAGNIS SUSENO
            Suseno, Frans Magnis. 2005. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

BAB 1
 RASIONALITAS, RASIONALISME DAN AGAMA
1.1.AKHIR ABAD KE-20: KEKACAUAN
        Seratus lima puluh tahun lalu filosof Perancis Auguste Comte (1798-1857) merumuskan apa yang disebutnya “hokum tiga tahap”: Roh manusia dalam perkembangannya melalui tiga tahap, yaitu tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positivistik.
        Tahap teologis adalah tahap kekuasaan kasta pendeta dan ksatria; disitu manusia menjelaskan kejadian-kejadian alami dari jiwa yang ada dalam benda-benda alami itu atau dari kekuatan-kekuatan adi-duniawi; Comte disini memasukkan fetisisme, politisme, dan monoteisme. Tahap itu dibuka oleh para filosof Yunani yang bertanya tentang archei, dasar-dasar realitas yang ada. Para filosof itu menjelaskan realitas dengan sebab-sebab, “idea-idea” dan “kekuatan-kekuatan” abstrak. Tahap terakhir yang positivistic adalah tahap ilmu pengetahuan, tahap persatuan teori dan praktek, dimana manusia, melalui pengamatan dan eksperimen, berusaha untuk semakin memahami kaitan-kaitan antara gejala-gejala yang dialaminya; kaitan-kaitan yang tetap dirumuskan sebagai “hokum” misalnya hukum alam.
        Dalam “hukum tiga tahap” itu Comte berhasil merumuskan dengan tepat apa yang merupakan “kepercayaan” abad ke-19 yang sekaligus menjadi abad dimana saintifisme (scientism), kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan kemajuan, mecapai puncaknya: Bahwa manusia baru menjadi rasional dan dewasa apabila segala mitos, agama, dan filsafa abstrak metafisik diganti oleh ilmu pengetahuan. Jadi, ia melihat suatu garis kemajuan umat manusia kearah pembebasan mental  dari kepercayaan-kepercayaan yang “tidak rasional”; dari mitos dan agama (sekarang pencampuran antara mitos dan agama yang dianggap kebodohan besar Comte; dua-duanya jelas harus dibedakan), melalui filsafat ke sikap ilmiah. Manusia ilmiah yang bebas dari mitos, agama, dan metafisika itulah baru manusia yang rasional.
1.         Sekarang pada akhir abad ke-20, tidak ada orang di Barat yang masih percaya pada “hukum tiga tahap” Comte itu. Terlalu mencoloklah irasionalisme dalam abad ke-20 yang kelihatan justr meledak bersamaan dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang semakin mengesan (dan yang masih berjalan terus). Nada rohani Barat yang dalam abad ke-19 optimis, dalam abad ke-20 menjadi pesimis, sekurang-kurangnya secara tersembunyi. Optimisme kemajuan abad ke-20 lain daripada optimism abad sebelumnya. Optimisme abad ke-20 adalah optimism pura-pura, optimism seakan-akan, mirip dengan senyuman Oom Pasikom yang miring.
        Untuk memahami kekacauan sekitar rasionalitas ilmiah, ada gunanya kita mengikuti sebentar perubahan cuaca dari optimism sungguhan ke “optimism seolah-olah” yang lebih mirip pesimisme itu. Ada banyak sebab yang membuat manusia Barat modern ragu-ragu atas situasinya. Dalam sastra barat sebelumnya perang dunia pertama tanda-tandanya sudah nampak. Misalnya Franz Kafka dengan roman-roman mengerikan dimana manusia semakin tersangkut dalam labirin administrative yang berakhir dengan kematiannya. Pengalaman dahsyat yang merobek rasa puas diri orang Barat adalah perang dunia pertama.
Maka jelaslah pula bahwa manusia modern tidak lagi percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat menyelamatkan dia. Bukan seakan-akan ilmu pengetahuan dianggap kurang penting. Ilmu pengetahuan malah dipacu terus, terutama oleh mekanisme-mekanisme ekonomis. Akan tetapi, orang tida mengharapkan bahwa ia akan selamat karenanya. Ia sadar betu bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana kita dapat menciptakan perdamaian dan mencapai kebahagiaan.

1.2.MASALAH RASIONALITAS ILMIAH
          Situasi itulah yang menjadi latar belakang pertanyaan tentang rasionalitas ilmiah. Apa yang diwaktu Comte kelihatan begitu sederhana, sekarang disadari betul-betul tidak sederhana. Pertanyaan disini adalah apa itu rasionalitas ilmiah
      Sebagai warisan padangan-pandangan seperti yang dari Augustu Comte, rasionalitas ilmiah sekarang pun masih sering dianggap berarti; dapat dibuktikan dengan bukti empiris. Ada pengamatan Indrawi yang dapat didokumentasikan yang dapat diverisikasikan dengan eksperimen. Puncak anggapan itu adalah Positivisme Logis tahun 20-an abad kee-20 yang hanya menerima dua macam pernyataan sebagai bermakna: pernyataan analistis, seperti misalnya dalam ilmu pasti, dan pernyataan-pernyataan empiris yang dapat, dan harus dapat diverifikasikan. Dengan demikian, segala keyakinan etika, metafisika, dan agama diklarifikasikan sebagai tidak rasional.
      Akan tetapi, anggapan postivistik itu tidak pernah berhasil diterima umum. Kelemahannya terlalu mencolok. Misalnya saja keyakinan-keyakinan moral. Memang betul: keyakinan-keyakinan moral tidak dapat dibuktikan seperti dapat dibuktikan bahwa bumi mengitari matahari. Akan tetapi, hal itu tidak berarti – sebagaimana dikatakan oleh kaum positivis – bahwa keyakinan-keyakinan moral sekedar perasaan saja.
         Begitu pula halnya dengan agama. Tentu kebenaran agama tidak dapat dibuktikan dengan argumentasi empiris karena Tuhan sendiri tidak termasuk dunia empiris. Tetapi bagi orang Beragama, agama bukan selera, melainkan menyangkut kebenaran. Ia yakin bahwa Allah itu ada, bukan karena ia senang, melainkan karena Allah memang ada, dan ia juga yakin bahwa penyangkalan adanya Allah itu salah. Begitu pula ia yakin terhadap kitab-kitab suci-sucina. Anggapan postivisme bahwa pertanyaan sekitar Tuhan dan alam di duniawi itu tidak berisi, jelas bertentangan dengan kesadaran mereka yang bersangkutan, orang beragama.
         Sering juga dikatakan secara sloganistik bahwa agama bertentangan dengan ilmu pengetahuan, tetapi dasar anggapan itu amat tipis. Di Eropa, dilingkungan agama Kristen, misalnya, hanya ada dua contoh konflik antara ilmu pengetahuan dan agama, kasus Galileo dan masalah evolusi (Darwinisme). Dari dua kasus itu pun yang pertama adalah akibat suatu salah paham. Yang memang menantang agama adalah ajaran evolusi.
Akan tetapi, apakah pertentangan antara ajaran evolusi dan Kitab Suci sungguh-sungguh atau hanya karena kita salah membaca Kitab Suci? Apakah antara ilmu dan iman benar-benar ada pertentangan? Bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan bias ada kesan perbedaan tidak perlu disangkal.

1.3.SEKELUMIT SEJARAH HUBUNGAN ANTARA IMAN DAN PENGETAHUAN
            Kebenaran hanya ada satu. Dan hanya mungkin ada satu karena dua-duanya baik akal budi manusia maupun wahyu berasal dari Pencipta yang sama. Dari Thomas Aquinas dunia Katolik mewarisi keyakinan bahwa tak mungkin ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan iman. Kalau ada, maka salah satu mesti salah; atau ilmu pengetahuan, atau pengertian yang diberikan terhadap wahyu. Maka, adanya pertentangan antara ilmu pengetahuan dan iman mesti menjadi alasan untuk mengadakan refleksi iman maupun ilmu.
            Fides querrens intellectum berarti: Iman mencari pengertian. Artinya percaya dalam arti sesungguhnya bukan sesuatu yang buta, melainkan manusia ingin dan perlu mencoba memahami apa yang diimaninya. Ucapan itu lawannya sikap credo absurdum “aku percaya karena tidak masuk akal”. Filsafat teologi Katolik menolak yang terakhir itu. Meskipun kita tidak dapat mengerti hakikat Ilahi, tetapi iman bukan sesuatu yang buta; kita dapat memahami bahwa iman kita bukan sesuatu yang kontradiktif, aneh, tak masuk akal. Anggapan ini bukan berdasarkan keyakinan bahwa baik iman maupun akal budi manusia berasal dari pencipta yang sama; dan oleh karena itu, tidak mungkin saling bertentangan.
            Segala keabsahan tidak boleh begitu saja diandalkan, melainkan harus disangsikan dulu kalau kita mau mencapai pengetahuan mendasar. Immanuel Kant (1724-1804), filosof zaman modern yang paling berpengaruh, mencoba membuktikan bahwa pengetahuan pasti hanya dapat tercapau mengenai hal-hal indrawi. Dengan demikian, pengetahuan pasti dibidang etika dan metafisika menjadi tidak mungkin.
            Maka, dalam abad ke-19 agama sering dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan: Orang yang rasional mengikuti ilmu pengetahuan, sedangkan orang yang beragama adalah orang irasional, orang yang masih terlibat dalam pemikiran mitos (dan kasus Galilei lalu menjadi kasus untuk memperlihatkan betapa anti-ilmunya sikap agama).
            Hermeneutika adalah ilmu mengenai bagaimana arti suatu ungkapan manusiawi dapat dipahami betul, baik ungkapan lisan maupun tertulis. Hermeneutika merupakan ilmu kunci dalam usaha memahami arti teks-teks sejarah dan kitab-kitab suci . menurut hermeneutika, kita tidak mungkin memahami sebuah teks sesuai dengan maksudnya apabila kita tidak masuk kedalam “cakrawala” pengertian mereka yang menulisnya (misalnya saja, dalam tulisan ribuan tahun lalu jangan dicari jawaban tentang masalah evolusi, karena waktu tulisan itu ditulis, para penulis sedikit pun tidak memikirkan evolusi; jadi dalam teks kuno itu ajaran Darwin itu tidak mungkin didukung dan sama saja tidak mungkin disangkal.






BAB 2
TEKNOLOGI DALAM TAYANGAN FILOSOFIS

2.1.TEKNOLOGI DALAM REFLEKSI FILOSOFIS
Dengan teknologi dimaksud usaha ilmiah, yaitu ilmu-ilmu alam, untuk meneliti kekuatan-kekuatan alam bertujuan untuk memanfaatkannya dan mengembangkan teknik. Dimana teknik adalah pemanfaatan kekuatan-kekuatan alam untuk menciptakan barang-barang yang dibutuhkan manusia.

2.2.REFLEKSI ATAS TEKNOLOGI MENJADI KRITIS
     Yang menjadi ciri kesibukan filsafat dengan teknologi – yang cukup jarang itu tadi – adalah keterbukaan dan sikap positif. Teknologi sebagai perpanjangan pekerjaan yang membantu manusia, mengembangkan manusia dan membawa alam ke realisasi potensi-potensinya.
     Kritik lebih mendasar terhadap pengembangan teknologi yang seakan-akan melegitimasikan dirinya sendiri dating dari mereka yang menjadi sadar akan ancaman terhadap lingkungan hidup alami manusia. Imperative-imperatif teknologis sendiri tidak memuat parameter apapun untuk memperhatikan keseimbangan eksositem bumi, jadi untuk menjaga keutuhan lingkungan hidup. Seharusnya, pengembangan teknologi dan pemakaiannya sedemikian rupa sehingga apa yang diambil akan diganti dan yang dirusak akan disembuhkan. Keutuhan lingkaran organic ekosistem perlu dipertahankan.

2.3.LOKALISASI MASALAH
2.3.1        Pesona Teknologi
     Terdapat dua masalah yaitu di level dampak langsung pemakaian teknologi terhadap lingkungan hidup alami dan sosial, dan bahwa teknologi mengembangkan dinamikanya sendiri seakan-akan asal suatu kebijakan sesuai dengan kemajuan teknologi, masalah legitimasi etis tidak muncul lagi.
2.3.2.      Modernitas
    

Akan tetapi kiranya sudah menjadi jelas bahwa keberatan dan ketakutan terhadap teknologi sebenarnya tidak menyangkut teknologi itu sendiri, melainkan dinamika budaya dan normative masyarakat modern secara keseluruhan.
Salah satu modernitas terletak dalam pendangkalannya. Modernitas menyentuh masyarakat kita lewat symbol-simbol yang dangkal: supermarket dan mall, iklan di televisi, mode yang trendy dan “asyik”, budaya disko, dan lain sebagainya. Pesan yang terkandung didalamnya, kalau tidak dikaji betul-betul, bisa mengerogoti resistensi cultural kita. Pesan-pesan itu misalnya: Penderitaan, penyakit, cacat tidak mempunyai nilai, orang yang “sukses” adalah orang sehat, vital, dan sebagainya. Orang itu modern asal trendy, berapakaian modern, memakai simbol-simbol modernitas (menurut iklan). Orang itu menjadi orang karena berpegangan pada produksi modern karena ia bekerja dengan jujur, ulet, kompeten, bertanggungjawab. Jadi, ancaman konsumenrisme ialah mengukur tingkat kemanusiaan dari tingkat konsumsi yang didekti iklan. takhayul bahwa kita menjadi orang modern asal bersentuhan dengan simbol-simbol globalisasi (budaya mall).
Terhadap trend ini kita dapat melawan dengan percaya diri, yakin bahwa kita ini menjadi orang karena kemampuan nyata kita, karena kita berkomunikasi dengan orang lain, karena kita dapat menyumbangkan sesuatu pada kebahagiaan orang lain, dan bukan karena merek celana jeans. Kemantapan dalam keyakinan agama dapat membantu disini.
Masalahnya bukanlah teknologi sendiri, melainkan teknologi sebagai komponen budaya modernitas. Inilah, menurut hemat saya, tempat dimana tantangan yang sebenarnya kita hadapi. Salah satu masalah modernitas terletak dalam pendangkalannya. Modernitas menyentuh masyarakat kita lewat symbol-simbol yang dangkal: supermarket dan mall, iklan di televisi, mode yang trendy dan “asyik”, budaya disko, dan lain sebagainya.

2.4.       RASIONALITAS YANG RASIONAL
       Jadi, monism rasionalitas ilmiah dalam abad ke-20 telah didekonstruksikan oleh para filosof. Tidak ada satu model rasionalitas. Anggapan pada abad lalu bahwa suatu anggapan itu rasional semakin mirip dia dengan metode fisika, telah dibongkar sebagai menyesatkan, jadi sebagai justru tidak rasional.
       Maka dari itu, masalah rasionalitas ilmiah – yang disamakan dengan rasionalitas metodologis ilmu fisika – masih sangat membingungkan para pemikir beragama apalagi masyarakat, padahal sebenarnya tidak ada masalah
       Rasionalitas kehidupan beragama tidak dapat dipertahankan dengan menutup diri terhadap modernitas. Penutupan itulah yang sebenarnya dimaksud dengan fundamentalisme. Melainkan, orang beragama harus berani untuk membuka diri terhadap segala sudut rasionalitas modern, terhadap metodologinya, terhadap hemermeutikanya, terhadap kritiknya (yang umumnya tidak menyangkut isi agama, melainkan metode “pengamanan” oleh para penganutnya). Tidak perlu takut bahwa agama akan berada dalam bahaya apabila membuka diri terhadap tuntutan rasionalitas ilmiah modern.
       Masing-masing wilayah penelitian ilmiah manusia ditangani dengan metode yang sesuai dengan cirri khas wilayah itu, misalnya: psikologi melalui intropeksi, komunikasi, eksperimen, sosiologi, melalui pengamatan dan usaha pemahaman, dan lain sebagainya.
       Rasionalitas ilmu teologi, misalnya harus dikembangkan baik dalam diskursus antara para teolog dari agama yang bersangkutan sendiri maupun dalam diskursus dengan kalangan-kalangan luar dengan teolog-teolog agama-agama lain, dengan para filosof, dengan pernyatan-pernyataan ilmu-ilmu lain yang misalnya menyerang.
       Rasional berarti: mempertanggungjawabkan pendiriannya terhadap pertanyaan kritis, tantangan, dan serangan argumentative, sangkalan dan bantahan. Dalam proses itu, posisi awal justru menjadi lebih kuat karena semakin dapa menempatkan diri. Sedangkan, rasionalistik menganggap bahwa kita hanya boleh mempercayai sesuatu yang sudah terbukti betul. Tuntutan itu non-sense besar. Sebagai makhluk social, manusia dalam kebanyakan kepastian harus mengandalkan lingkungan sosialnya.
       Lingkungan rasionalitas ilmiah adalah lingkungan komunikatif antara ilmuwan dari bidang sama; para dokter, para ahli kimia, para filosof, ahli-ahli ilmu social, serta lingkungan dimana para ahli dari perbagai ilmu itu bertemu. Aktualisasi lingkungan itu bisa dalam bentuk kegiatan di universitas, lembaga pengajaran, dan penelitian, di seminar, dan lokakarya, lewat publikasi majalah profesi dan ilmu.
       Pluralitas rasionalitas modern itu, mempunyai implikasi politis yang penting; perlu diusahakan pola kehidupan bersama, dalam bahasa kita: Pola kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dimana baik kesatuan warga negara.
BAB 3
FILSAFAT DIANTARA ILMU-ILMU

Karena filsafat itu sukses, justru karena ia memperhatikan segala-galanya, maka ia juga makin menyadari bahwa segala sesuatu harus diselidiki menurut kekhasannya sendiri. Masing-masing menuntut metode penelitiannya sendiri-sendiri. Dan karena itu, mulailah perjalanan selama 2000 tahun ilmu emigrasi keluar dari lingkup induknya semula, filsafat, ilmu-ilmu khusus, satu demi satu lahir, mandiri, dan meninggalkan filsafat. Sampai ada orang yang mengkhawatirkan masa depan filsafat: Jangan-jangan filsafat akhirnya akan habis sendiri. Seakan-akan tinggal menunggu saja kapan seluruh bidang realitas diselidiki oleh ilmu-ilmu tersendiri, sehingga bagi filsafat tidak ada pekerjaan lagi. Begitulah misalnya pendapat tokoh postivisme abad ke 19, August Comte. Menurut Comte, manusia menuju kezaman ilmu pengetahuan positif, dimana lantas tidak aka nada tempat dan kebutuhan lagi bagi filsafat.

3.1. FILSAFAT MENEMUKAN DIRI
3.1.1. Filsafat menemukan diri kembali dalam dua arti. Pertama, filsafat sekali lagi mengangkat agendanya sendiri. Ia bukan ilmu pembantu. Ia dimajukan oleh orang-orang yang tertarik untuk berpikir, yang ingin mengerti, memahami, menangkap sesuatu yang tidak terletak ditengah jalan orang banyak. Filosofis tampak terperangkap dalam jarring-jaring pertanyaan metodis, sekarang dengan penuh keyakinan etika kembali ke medan tantangan moralitas umat manusia. Pertanyaan-pertanyaan penting manusia tentang bagaimana ia mau hidup berhadapan dengan tantangan-tantangan modernitas tanpa kehilangan harga diri hanya dapat didekati melalui filsafat. Baik tradisi maupun agama tidak berdaya terhadap tantangan-tantangan itu, sedangkan menarik diri kembali kedalam tradisi ekslusif keagamaanya tak beda bak katak dalam terpurung. Tetapi wilayah kedua khas filsafat tradisional, metafisika, juga mulai digeluti lagi. Pertanyaan tentang keseluruhan realitas tidak dapat dihindari lagi.
3.1.2. Filsafat bertugas menyertai ilmu-ilmu. Filsafat bukan ratu ilmu-ilmu, bukan juga abdinya, bukan penunjuk jalan dan bukan penyedia metode. Ia menyertai saja, itulah. Menyertai dengan komentar, catatan, kritikan, dan usulan-usalannya. Ia menawarkan wawasan yang melampaui keterbatasan metodis masing-masing ilmu; dan dengan demikian, membuka intellectual space para ilmuwan untuk menggagas perubahan metode, sampai ke perubahan paradigm. Sebagai contoh dapat diambil pengaruh filsafat dalam pengembangan fisika mikro serta relativitas yang seandainya dua-duanya tanpa wawasan dan keberanian filosofis, terutama epistemologis, tidak mungkin akan berhasil dirumuskan. Atau peluang wawasan yang didapati sosiologi dari Teori Kritis “Frankfurt”.

Filsafat selalui mempunyai dua arah yang saling melengkapi: filsafat merefleksikan pengalaman manusia, dan filsafat menanggapi pemikirannya. Jadi, filsafat selalu memperdalam apa yang dialami manusia dalam hidup sehari-hari, baik pengalaman istimewa maupun pengalaman biasa. Filsafat seakan-akan lahir dari rasa heran: karena heran, filsafat ingin tahu. Dan sejak kelahirannya, filsafat merupakan suatu kegiatan dialektis: para filosofis saling menanggapi dan saling mengkritik. Yang khas bagi filasafat yang lahir di Yunan adalah cirinya yang argumentative. Itulah yang membedakannya dari ajaran kebijaksanaan di India, Cina, atau Jawa. Di India, Cina, dan Jawa pun manusia berpikir dalam-dalam. Tetapi bahwa manusia saling mengkritik, bahwa filsafat menuntut pertanggungjawaban rasional atas sebuah spekulasi, itu muncul di Yunani. Hanya filsafat argumentative yang mempunyai potensialitas untuk melahirkan ilmu-ilmu karena hanya filsafat argumentatiflah yang mendobrak mitos; dan dengan demikian, memungkinkan pendekatan spesialistik dan, jauh kemudian, eksperimental. Filsafat semakin kritis sesudah agama-agama monoteis merebut sebagian besar dari wilayah pemaknaan yang dulu juga dilayani oleh filsafat.

3.2. TANTANGAN FILSAFAT
Keberadaan filsafat secara historis, mampu merubah pola pikir bangsa yunani dan umat manusia yang awalnya berpandangan mitosentris menjadi logosentris. Yang awalnya berpandangan bahwa semua yang terjadi di alam jagad raya ini adalah kehendak dewa, kini justru dirubah menjadi pola rasio yang memang terjadi secara teoritis dan sistemik.
Pola pikir yang berubah pesat dari pola mitosentris menjadi logosentris ini, tidak berdampak kecil bagi kelangsungan hidup manusia. Alam yang tadinya ditakuti karena kepercayaan dan ketakutan kepada dewa sangat tinggi, kini dapat didekati bahkan dieksploitasi. Perubahan itu dapat kita jumpai pada temuan-temua hukum alam dan teori-teori ilmiah, yang hari ini banyak dipelajari dan menjadi acuan akademik. Untuk mengkaji alam jagad raya ini, dapat kita lakukan dan kita temukan dengan pendekatan astrologi, fisikia, kimia, dll. Sedangkan alam kemanusiaan dapat kita jumpai dengan pendekatan sosiologi, biologi, psychology, dll. Ilmu-ilmu tersebut kemudian terspesialisasikan, dan dipersempit, sehingga bersifat aplikatif dan sangat dapat dirasakan manfaatnya.
Ilmu yang terspesialisasikan baik kedalam pendekatan makrokosmos maupun mikrokosmos, kemudian dalam perkembanganya, Ilmu terbagi kedalam beberapa disiplin yang membutuhkan pendekatan, objek dan ukuran yang berbeda-beda antar disiplin ilmu yang satu dengan lainya. Sehingga, cabang ilmu semakin subur dengan segala varietasnya.
Ilmu yang kemudian terbagi kedalam variasinya masing-masing itu, kemudian tak dapat dipungkiri terbentuknya sekat-sekat antar disiplin ilmu lainya, sehingga muncul arogansi-arogansi antar ilmu tersebut, bahkan bukan hanya sekat dan arogansinya, akan tetapi akan terjadi pemisahan antara ilmu dengan cita luhurnya yang bertujuan untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan lebih bahaya lagi jika kemudian, ilmu menjadi bencana bagi kehidupan umat manusia, sehingga menimbulkan kekacauan sosial dan kekacauan alam yang belakangan juga sudah kita rasakan, seperti adanya pemanasan global dan dehumanisasi di sekitar kita.

Kekacauan-kekacauan yang melanda, baik alam makrokosmos maupun mikrokosmos yang sudah terdeskripsi itulah, yang kemudian menjadi sebuah tantangan sekaligus menjadi masa depan ilmu. Karena bak 2 bilah pisau, semakin ilmu berkembang dan maju, justru semakin besar kekhawatiran yang timbul, sedangkan tidak ada otoritas manapun yang mampu membendung laju ilmu tersebut. Seiring dengan perkembangan Ilmu, Kant mengatakan bahwa, apa yang dikatakan rasionalitas itu adalah masuk akal, dan ilmu yang berdasarkan rasionalitas tidak memiliki batas kecuali rasionalitasnya sendiri, sedangkan rasionalitas tak terbatas oleh apapun kecuali oleh hukum alam, bahkan tidak ada yang mengetahui sampai mana batasan hokum alam, baik batasan ruang maupun waktu. Maka Ilmu akan tetap melaju sampai mana Ilmu itu dibutuhkan.

0 comments:

Post a Comment