Tuesday, 20 June 2017

etika keilmuan "filsafat ilmu"

MATA KULIAH "FILSAFAT ILMU"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Etika merupakan bahasan yang berbicara tentang nilai etika dan nilai moral, membicarakan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai etika dan mengenai norma etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai etika dan pola perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal nilai yang merupakan salah satu dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap tindakannya selalu dipertanggungjawabkan.
            Etika yang sebanding dengan moral dalam ilmu filsafat yaitu mengenai adat kebiasaan. Lebih jauh, etika dan moral memiliki arti tersendiri dalam kehidupan manusia yang terwujud dalam pola perilaku masyarakat. Etika sebagai pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, sosial, dan agama.
            Melalui belajar dan berpikir berfikir filsafat seperti itulah banyak persoalan dan pertanyaan-pertanyaan dari yang ada dan yang tidak ada tapi ada bisa dicarikan jawabannya. Dalam tataran ini cukup dimengerti apabila produk pemikiran filsafat mempengaruhi dan menjadi idiologi suatu masyarakat dari yang terkecil sampai dalam bentuknya yang paling besar yaitu Negara. Dalam maknanya seperti itu, dapatlah dijelaskan bahwa filsafat telah memberikan konsep-kosep metafisik dan kosmis yang bergerak di jagat raya ini dan merupakan dasar dari perenungan, pencarian dalam filsafat.
            Masalah etika itu sendiri merupakan cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukandengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pulamerupakan persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesame manusia dan dirinya (Musa, 2001).
            Oleh karena, etika merupakan salah satu cabang dari kajian filsafat, maka sangatlah perlu untuk mengupas tuntas tentang permasalahan etika yang bersandarkan pada ruanglingkup filsafat. Sehingga dapat diketahuilah tentang pandangan para pemikir atau para ahli filsafat tentang etika. Tujuan etika dalam hal ini adalah untuk mendapatkan sesuatu yang ideal bagi semua manusia ditempat manapun dalam waktu apapupun juga mengenail penilaian baik atau buruk. Namun ukuran baik dan buruk sangat relatif sebab sangat tergantung pada keadaan suatu daerah dan suasana suatu masa. Etika menentukan ukuran atas perbuatan manusia. Oleh karena itu, dalam mengusahakan tujuan etika, manusia pada umumnya menjadikan norma yang ideal untuk mencapai tujuaan tersebut.
                       
B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah makalah adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan etika yang merupakan cabang dari ilmu filsafat?
2.      Bagaimana perkembangan etika ilmu pengetahuan?
3.      Bagaimana sikap ilmiah ilmuwan menerapkan etika dalam menerapkan ilmu pengetahuan?

C.    Tujuan Penyusunan Makalah
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui dan memahami struktur filsafat serta relasinya dengan etika.
2.      Untuk mendeskripsikan dan mengetahui etika sebagai cabang ilmu filsafat
3.      Untuk mengetahui perbedaan etika, norma dan sikap yang tepat sebagai mahasiswa/ilmuwan dalam etika ilmu pengetahuan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Etika
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti adat, kebiasaan kesusilaan. Pengertian terminologi etika menunjukkan pada tingkah laku yang didasarkan pada penilaian baik dan benar. Istilah ini di populerkan oleh Aristoteles. Pada perkembangan selanjutnya, seorang ahli filsafat, Cicero mengenalkan istilah Moralis yang kurang lebih bermakna sama. Dalam pandangan normatif, segala sesuatu mempunyai nilai-nilai yang dijadikan asumsi dasar dalam implementasi (Bagus, Lorenz: 2005).
Etika (ethos) adalah sebanding dengan moral (mos) di mana keduanya  merupakan filsafat tentang adat kebiasaan. Moralitas berasal dari kata mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Jadi, dalam pengertian ini, etika dan moralitas sama-sama memiliki arti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang tetap dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan (Keraf, 1998).
Secara terminologis, De Vos mendefinisikan etika sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral). Sedangkan William Lillie mendefinisikannya sebagai the normative science of the conduct of human being living in societies is a science which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad. Sedangkan ethic, dalam bahasa Inggris berarti system of moral principles. Istilah moral itu sendiri berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores), yang berarti juga kebiasaan dan adat (Vos, 1987).
Etika menurut K. Bertens (1994)  terdiri dari:
1.      Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya.
2.      Etika adalah nurani (batin), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.
3.      Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.
4.      Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.

            Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).
            Seperti yang kita ketahui bersama bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah atau berarti.
            Pengertian etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), etika berasal dati istilah Yunani ethos yang mempunyai arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut, etika berkembang menjadi study tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi, etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral.
1.      Etika Perangai
            Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambaran perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat di aderah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku. Contoh etika perangai:
a.       berbusana adat
b.      pergaulan muda-mudi
c.       perkawinan semenda
d.      upacara adat
2.      Etika Moral
            Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral. Contoh etika moral:
a.       berkata dan berbuat jujur
b.      menghargai hak orang lain
c.       menghormati orangtua dan guru
d.      membela kebenaran dan keadilan
e.       menyantuni anak yatim/piatu.
Etika adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma dan moralitas. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat dan mengamati nilai dan norma moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan norma moral itu (Aji dan Sabeni, 2003).
Sebagai cabang filsafat, etika dapat dibedakan menjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Menurut pandangan yang pertama, nilai kebaikan suatu perbuatan bersifat obyektif yaitu terletak pada substansi perbuatan itu sendiri. Paham ini melahirkan rasionalisme dalam etika, suatu perbuatan dianggap baik, bukan karena kita senang melakukannya, tetapi merupakan keputusan rasionalisme universal yang mendesak untuk berbuat seperti itu. Sedangkan aliran subyektivisme berpandangan bahwa suatu perbuatan disebut baik bila sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu baik subyek Tuhan, subyek kolektif seperti masyarakat maupun subyek individu (Muhammad, 2004).
Adapula yang mengajukan penggolongan filsafat kedalam tujuh persoalan, seperti yang dikemukakan De Vos (1987) sebagai berikut:
1. Metafisika
2. Logika
3. Ajaran tentang ilmu pengetahuan
4. Filsafat alam
5. Filsafat kebudayaan
6. Filsafat sejarah
7. Etika.

            Masalah etika itu sendiri merupakan cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukandengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pulamerupakan persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesame manusia dan dirinya (Musa, 2001).
            Etika juga dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus, etika  khusus dibedakan  lagi  menjadi  dua yaitu etika individual dan etika sosial. Pembagian etika menjadi etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan oleh  Frans Magnis Suseno (1993) dengan  istilah  etika deskriptif. Frans Magnis  Suseno (1993) menjelaskan bahwa etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral,  seperti  tentang  pengertian  etika,  fungsi  etika,  masalah kebebasan,  tanggung  jawab,  dan  peranan  suara  hati. Sedangkan etika  khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari moral  itu  pada  masing-masing  bidang  kehidupan  manusia.
            Etika secara umum dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
  1. Etika Umum
Etika umum adalah etika yang berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mangambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
  1. Etika Khusus
Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Penerapannya dapat berupa bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Selain itu penerapannya juga dapat berupa bagaimana menilai prilaku diri dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan. Etika khusus dibagi menjadi dua bagian :
a.    Etika individual
                 Etika individual menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b.   Etika sosial
                 Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia
                 Etika umum menjelaskan tentang kajian bagaimana manusia bertindak secra etis, sedangkan etika khusus mengkaji tentang penerapan-penerapan prinsip-prinsip moral dasardalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam etika umum, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik buruknya suatu tindakan. Sedangkan dalam etika khusus, prinsip-prinsip moral dasar tersebut diterapkan dalam wujud bagaimana untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar, serta prinsip-prinsip moral dasar tersebut digunakan untuk bagaimana menilai perilaku diri sendiri maupun perilaku orang lain dalam berbagai kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatar belakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia untuk bertindak etis. Etika umum lebih terfokus pada kondisi-kondisi dasar manusia dalam bertindak secara etis serta teori-teorietika dan prinsip-prinsip moral dasar digunakan sebagai pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Sedangkan etika khusus lebih terfokus pada penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Cecep Sumarna (dalam Amril, 2002) membagi kajian filsafat etika kedalam:
1.      Etika normatif, etika yang mengkaji tentang baik buruknya tingkah laku.
2.      Etika praktiskajian etika biasanya menyangkut soal tindakan yang harus dilakukan oleh manusia.

            Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskritif dan etika normatif. Etika deskritif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak.
Menurut K. Bertens, (2007), situasi etis pada zaman modern ini ditandai oleh tiga ciri antara lain: 1) adanya pluralitas moral; 2) munculnya masalah-masalah etis baru yang sebelumnya tidak ada; 3) munculnya kesadaran baru di tingkat dunia yang nampak jelas dengan adanya kepedulian etis yang universal.
Maka dari itu setidaknya terdapat empat alasan perlunya etika pada zaman ini, yaitu 
1.     individu hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk di dalamnya di bidang moralitas.
2.     pada saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang berlangsung sangat cepat. Gelombang modernisasi membawa perubahan yang mengenai semua segi kehidupan.
3.     bahwa proses perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi ini sering dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memancing dalam air keruh.
4.     etika juga diperlukan oleh kaum agamawan (Franz Magnis Suseno, 1993).

Untuk menjawab persoalan etika adalah sebagai berikut: Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan etika deskriptif (descriptive ethics), yaitu mempelajari perilaku pribadi-pribadi manusia atau personal morality dan perilaku kelompok atau social morality. Dengan menganalisa bermacam-macam aspek dari perilaku manusia, antara lain: motif, niat dan tindakan-tindakan terbaik yang dilaksanakan. Kedua, pengertian perilaku moral seperti di atas harus dibedakan dengan apa yang seharusnya (etika normatif). Apa yang seharusnya dilakukan mendasarkan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam kehidupan manusia. Yaitu dengan menanyakan bagaimanakah cara hidup yang baik yang harus dilakukan. Ketiga, berkaitan dengan pengertian praktis. Dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah menjalankan hidup dengan benar, atau bagaimana cara menjadi manusia yang benar (Harold H. Titus, 1984).
Lebih jelas, lingkup persoalan etika dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Etika Deskriptif
            Etika deskriptif sering menjadi bahasan dalam ilmu sosiologi. Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan dilapangan penelitian. Secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam pengertian luas, seperti dalam adat kebiasaan, atau tanggapan-tanggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang berusaha untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin tentang yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif  hanya  melukiskan tentang suatu nilai dan tidak memberikan penilaian.
2.      Etika Normatif
            Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang mempunyai ukuran atau norma standar yang dipakai untuk menilai suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau kelompok orang. Dalam hal ini etika normatif menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang seharusnya terjadi atau yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. Etika normatif tidak seperti etika deskriptif yang hanya melibatkan dari luar sistem nilai etika yang berlaku, tetapi etika normatif melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
3.      Etika praktis
            Etika praktis mengacu pada pengertian sehari-hari, yaitu persoalan etis yang dihadapi seseorang ketika berhadapan dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam tindakannya sehari-hari.
4.      Etika Individual dan Etika Sosial
            Adalah etika yang bersangkutan dengan manusia sebagai perseorangan saja. Di samping membicarakan kualitas etis perorangan saja, etika juga membicarakan hubungan pribadi manusia dengan lingkungannya seperti hubungan dengan orang lain. Etika individu berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah laku yang dilakukan oleh perseorangan sebagai bagian kesatuan yang lebih besar (Ahmad Charis Zubair, 1995).

B.     Pengertian Norma
            Norma berasal dari bahasa latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Jadi secara terminologi kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma menunjuk suatu teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada perbuatan-perbuatan konkret.
            Norma mencakup aturan-aturan ataupun sanksi-sanksi. Hal itu bertujuan untuk mendorong atau menekan anggota masyarakat untuk mematuhi nilai-nilai sosial agar tercipta ketertiban dan perdamaian dalam kehidupan sosial. Norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu norma berdasarkan resmi tidaknya dan norma berdasarkan kekuatan sanksinya.
1.      Norma berdasarkan Resmi Tidaknya
Menurut resmi tidaknya, keseluruhan norma kelakuan hidup masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu norma tidak resmi dan norma resmi.
a.       Norma tidak resmi  ialah norma yang patokannya dirumuskan secara tidak jelas dan pelaksanaannya tidak diwajibkan bagi warga yang bersangkutan. Norma tidak resmi tumbuh dari kebiasaan bertindak yang seragam dan diterima oleh masyarakat. Patokan tidak resmi dijumpai dalam kelompok primer seperti keluarga, kumpulan tidak resmi, dan ikatan paguyuban.
b.      Norma resmi (formal) ialah norma yang patokannya dirumuskan dan diwajibkan dengan jelas dan tegas oleh pihak yang berwenang kepada semua warga masyarakat. Keseluruhan norma formal ini merupakan suatu tubuh hukum yang dimiliki oleh masyarakat modern, sebagian dari patokan resmi dijabarkan dalam suatu kompleks peraturan hukum (law). Masyarakat adat diubah menjadi masyarakat hukum. Patokan resmi dapat dijumpai, antara lain dalam perundang-undangan, keputusan, dan peraturan.
2.      Norma berdasarkan Kekuatan Sanksinya
            Dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, norma memiliki sanksi-sanksi tersendiri yang berbeda tingkat kekuatannya. Adapun jenis norma berdasarkan kekuatan sanksinya adalah seperti diuraikan berikut ini.
a.       Norma agama adalah suatu petunjuk hidup yang berasal dari Tuhan bagi penganutnya agar mereka mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jadi, norma agama berisikan peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, laranganlarangan, dan anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan. Misalnya, semua agama mengajarkan agar umatnya tidak berdusta atau berzina. Apabila dilanggar, sanksinya adalah rasa berdosa.
b.      Norma kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan sehari-hari sekelompok masyarakat. Satu golongan tertentu dapat menetapkan peraturan-peraturan tertentu mengenai kesopanan dalam masayarakat itu. Misalnya, pada kelompok masyarakat tertentu, kita dilarang meludah sembarangan.
c.       Norma kelaziman adalah tindakan manusia mengikuti kebiasaan yang umumnya dilakukan tanpa pikir panjang karena kebiasaan itu dianggap baik, patut, sopan, dan sesuai dengan tata krama. Segala tindakan tertentu yang dianggap baik, patut, sopan, dan mengikuti tata laksana seolah-olah sudah tercetak dalam kebiasaan sekelompok manusia. Misalnya, cara makan, minum, berjalan, dan berpakaian.
d.      Norma kesusilaan adalah pedoman-pedoman yang mengandung makna dan dianggap penting untuk kesejahteraan masyarakat. Norma kesusilaan bersandar pada suatu nilai kebudayaan. Norma kesusilaan itu dianggap sebagai aturan yang datang dari suara hati manusia. Penyimpangan dari norma kesusilaan dianggap salah atau tidak bermoral sehingga pelanggarnya akan menjadi bahan sindiran atau ejekan. Misalnya, di Jawa, anak yang berjalan melewati orang tua harus membungkukkan badan tanda menghormati orang tua tersebut. Apabila anak tidak melakukan hal tersebut akan disindir karena tindakannya dianggap asusila.
e.       Norma hukum adalah aturan tertulis maupun tidak tertulis yang berisi perintah atau larangan yang memaksa dan akan memberikan sanksi tegas bagi setiap orang yang melanggarnya.
f.       Mode adalah cara dan gaya dalam melakukan dan membuat sesuatu yang sifatnya berubah-ubah serta diikuti oleh banyak orang. Ciri-ciri utama mode adalah orang yang mengikuti bersifat massal dan mencakup berbagai kalangan dalam masyarakat.

            Dengan tidak adanya norma maka kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis. Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis.
            Berikut ini adalah macam-macam norma:
a.       Norma agama, yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan, dan anjuran yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Para pemeluk agama mengakui dan mempunyai keyakinan bahwa peraturan-peraturan hidup berasal dari Tuhan dan merupakan tuntutan hidup ke arah jalan yang benar, oleh sebab itu harus ditaati oleh para pemeluknya.
b.      Norma hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh negara dengan hukuman tegas dan memaksa sehingga berfungsi mengatur ketertiban dalam masyarakat. Norma hukum digunakan sebagai pedoman hidup yang dibuat oleh badan berwenang untuk mengatur manusia dalam berbangsa dan bernegara.
c.       Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan manusia. Peraturan itu ditaati dan diikuti sebagai pedoman tingkah laku manusia terhadap manusia lain di sekitarnya.
d.      Norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang datang dari hati sanubari manusia. Peraturan tersebut berupa suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman sikap dan perbuatan. Hukuman bagi pelanggaran terhadap norma kesusilaan berupa penyesalan diri dan rasa bersalah.
Fungsi Norma :
1.      Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok msayarakat dalam rangka mencapai masyarakat yang sejahtera, tentram, tertib dan aman.
2.      Sebagi pedoman cara berfikir dan bertindak
3.      Sebagi pedoman yang mengatur kehidupan masyarakat.




C.    Etika Ilmu Pengetahuan
Ilmu mengungkapkan realitas sebagaimana adanya. Hasil- hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif untuk membuat keputusan politik dengan mengacu pada pertimbangan etika dan moral (Surajiyo, 2007).
Liang Gie (1987) dalam Ihsan Fuad (2010) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan  keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
            Menurut Bahm (dalam Ihsan Fuad, 2010) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects).
            Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut  Liang Gie (1987) dalam Ihsan Fuad (2010) mempunyai lima ciri pokok :
1.      Empiris, pengetahuan diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2.      Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
3.      Objektif, pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi.
4.      Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu. Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun jug (Surajiyo,2009).
            Menurut Muhammad (2004) ada beberapa konsep dasar yang berhubungan dengan etika. Masing-masing konsep tersebut memiliki arti berbeda, yaitu:
1.      Etika adalah norma manusia harus berjalan, bersikap sesuai nilai/norma yang ada.
2.      Moral merupakan aturan dan nilai kemanusiaan (human conduct & value), seperti sikap, perilaku, dan nilai
3.      Etiket adalah tata krama/sopan santun yang dianut oleh suatu masyarakat dalam kehidupannya .
4.      Nilai adalah penetapan harga sesuatu sehingga sesuatu itu memiliki nilai yang terukur

            Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian dalam tentang sesuatu obyek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengeta-huan yang ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dn struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan seca-ra terbuka. Disebabkan oleh karena itu pula ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
            Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu juga masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kokoh kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia kearah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Disinilah letak tang-gung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.

D.    Kaitan Ilmuwan dengan Etika
            Aholiab Watloly (2001) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal memahami tanggungjawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab, secara etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu; tanggung dan jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini, wajib menanggung dan wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan hanya berdiri di depan tugas keilmuannya untuk mendorong kemajuan ilmu, dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga harus berdiri di belakang setiap akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu adalah sifat keterbatasan. Tanggung jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan, dalam arti bahwa, tanggung jawab itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan sendiri oleh ilmu dan ilmuwan sebagai manusia, tetapi merupakan pemberian kodrat. Sebagaimana manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, tetapi menerimanya sebagai pemberian kodrat maka demikian pula halnya ia tidak dapat menciptakan tanggung jawab. Manusia hanya menerima dirinya dan tanggung jawabnya, serta menjalaninya sebagai sebuah panggilan kodrati dan tunduk padanya.
          Hubungan etika dan ilmu berarti juga penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggung jawab etis menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut. Manusia disebut etis adalah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan orang lain, antara rohani dengan jasmani, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya. Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.

E.     Sikap Ilmiah Ilmuwan
Manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama dengan alam dan berada di dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan membudayakan dirinya bilamana manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya. Manusia yang merupakan bagian alam tidak hanya merupakan bagian yang terlepas darinya. Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai dengan martabatnya maka manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa merupakan pusat dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan alam ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itulah, maka manusia harus senantiasa menjaga keles-tarian alam dalam keseimba-ngannya yang bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa lebih-lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga kelesta-rian dan keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. (Abbas Hamami M., 1996)
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini disebabkan oleh karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungawabkan kepada Tuhan. Artinya selaras dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996) sedikitnya ada enam , yaitu:
1.         Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2.         Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau , cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.
3.         Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
4.         Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5.         Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6.         Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.
Disamping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok-kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya.
Suatu fenomena sebagaimana ditentukan oleh pusat perhatian ilmuwan menjadi obyek sebenarnya dari cabang suatu ilmu. Berbagai keterangan mengenai obyek sebenarnya dituangkan dalam pernyataan yang memuat pernyataan ilmiah mempunyai empat bentuk, yaitu:
a. Deskripsi
Merupakan kumpulan pernyataan bercorak deskriptif dengan memberikan pemerian mengenai bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci lainnya dari fenomena yang bersangkutan. Bentuk ini umumnya terdapat pada cabang ilmu-ilmu khusus, terutama yang bercorak deskriptif seperti ilmu anatomi atau geografi
b. Preskrepsi
Ini merupakan kumpulan pernyataan bercorak preskriptif dengan memberikan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam kaitannya dengan obyek sederhana itu. Ilmu ini dapat dijumpai dalam cabang-cabang ilmu sosial, seperti ilmu pendidikan yang memuat petunjuk-petunjuk cara mengajar yang baik didalam kelas.
c. Eksposisi pola
Bentuk ini merangkum pernyataan-pernyataan yang merangkum pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena yang ditelaah. Seperti dalam sosiologi yang memaparkan pola-pola perubahan masyarakat pedesaan menjadi masyarakat kota.
d. Rekonstruksi historis
Bentuk ini berusaha merangkum pernyataan-pernyataan yang berusaha mengambarkan atau menceritakan dengan penjelasan atau alasan yang diperlukan mengenai pertumbuhan sesuatu hal pada masa lampau baik secara alamiah atau karena campur tangan manusia. Cabang-cabang ilmu yang banyak mengandung ilmu khusus ini misalnya historigrafi, ilmu purbakala, dll.
Dari sejumlah fenomena alam yang teramati seorang ilmuwan memiliki masalah mana yang patut mendapatkan perhatian bila masalah ini telah diidentifikasikan dan dirumuskan lebih lebih tegas, maka dilakukan proses pengamatan dan pengamatan dan pengukuran ditarik kesimpulan yang boleh jadi berbentuk pengujian teori. Bila teori ini digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis atau membimbing kegiatan operasional,maka berarti kita sudah masuk ke dalam penerapan ilmu,kita akan melihat bahwa dalam seluruh tahap ini etika tidak dapat diabaikan atau dipinggirkan. Dengan rumusan ruang lingkup filsafat sebagaimana diuraikan di atas, menjelaskan bahwa salah satu kajian besar dalam filsafat adalah persoalan etika dan juga estetika yang tertuang dengan kesopanan dan kesatunan.
          Kelebihan seorang ilmuwan adalah bahwa ia bisa berpikir secara teratur dan cermat sehingga dengan kemampuan inilah, ia sekaligus memiliki tanggung jawab social untuk memperbaiki dan meluruskan pikiran masyarakat yang keliru. Kebenaran epistemologis dalam hubungannya dengan tanggungjawabnya sosialnya, bukan saja berfungsi sebagai jalan pikiran yang tertata secara epsitemologis, namun seluruh hidup dan kehidupan ilmuwan merupakan prototype kebenaran itu sendiri. Khusus dalam bidang etika, ilmuwan bertanggungjawab untuk mengarahkan kehidupan yang lebih objektif, terbuka, dan menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam memperjuangkan kebenaran, kalau perlu mengakui kesalahannya secara terbuka didepan masyarakat (Watloly, Aholiab: 2001).
F. ILMU BEBAS NILAI DAN ILMU TIDAK BEBAS NILAI
          Josep Situmorang (dalam Surajiyo, 2005) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
          Ilmu pengetahuan yang bebas nilai juga bertujuan agar ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran ilmiah yang objektif dan rasional (Keraf & Dua, 2001). Tidak dibenarkan bila suatu ilmu pengetahuan hanya berlaku bagi kepentingan suatu pihak tertentu. Jika demikian maka ilmu pengetahuan tidaklah bersifat universal. Maka suatu ilmu pengetahuan yang bebas nilai amatlah penting. Hal itu untuk mencapai tujuan akhir diciptakannya ilmu pengetahuan. Tujuan akhir dari ilmu pengetahuan ini ialah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang fenomena dalam alam semesta ini, serta memberi pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah clan fenomena dalam hidup (Keraf & Dua, 2001).
          Surajiyo menjelaskan ada tiga faktor yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu:
1.  Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
2.  Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin.
3.  Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.

            Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau terikat nilai (valuebond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu yang terikat nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dsb.















BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
                Pemaparan K Bertens (2004) yang sudah disampaikan di Bab 2 dapat disimpulkan bahwa etika memiliki tiga posisi, yaitu sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai moral, dan (3) filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau buruk. Dalam poin ini, akan ditemukan keterkaitan antara etika sebagai sistem filsafat sekaligus artikulasi kebudayaan.
            Dengan demikian, norma sangat diperlukan oleh masyarakat dalam mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Etika pada akhirnya membantu untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu di lakukan dan yang perlu di pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan.
            Ada hubungan yang sangat erat  antara filsafat, etika dan ilmu. Landasan filosofis ini  menjadikan ilmu masih tetap pada hakekat  keilmuannya. Ilmu sebabagi bidang yang otonom tidak bebas nilai. Ia selalu berkaitan dengan nilai-nilai etika terutama dalam penerapan ilmu. Etika sebagai salah satu cabang dalam filsafat akan memberikan arahan (guiedence) bagi gerak ilmu, sehingga membawa kemanfaatan bagi manusia. Jadi bisa disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu moral/ilmu akhlaq yang mengindikasikan hal-hal pra tindakan yang berupa pengetahuan serta pemikiran tentang hal/tindakan baik dan buruk.

B.     Saran
Etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia dan sebagai calon ilmuwan (mahasiswa) yang sudah mempelajari ilmu filsafat hendaknya beretika dan bertanggungjawab dalam upaya memecahkan masalah-masalah sehari-hari yang sudah pasti menerapkan dengan ilmu pengetahuan sebagai senjata.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Keraf, Sony. 1998. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: PT
Kanisius.

Seseno, Franz Magnus.1993. Etika Sosial, Jakarta: PT Gramedia.

Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar). Jakarta: Bumi Aksara.















ETIKA KEILMUAN


MATA KULIAH “FILSAFAT ILMU”

0 comments:

Post a Comment