BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etika merupakan bahasan yang berbicara tentang nilai
etika dan nilai moral, membicarakan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai
cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai
etika dan mengenai norma etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan
rasional mengenai nilai etika dan pola perilaku hidup manusia. Etika
membicarakan soal nilai yang merupakan salah satu dari cabang filsafat. Etika
bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung
jawabkan karena setiap tindakannya selalu dipertanggungjawabkan.
Etika yang sebanding dengan moral dalam ilmu filsafat
yaitu mengenai adat kebiasaan. Lebih jauh, etika dan moral memiliki arti
tersendiri dalam kehidupan manusia yang terwujud dalam pola perilaku
masyarakat. Etika sebagai pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut
pandang budaya, sosial, dan agama.
Melalui belajar dan
berpikir berfikir filsafat seperti itulah banyak persoalan dan
pertanyaan-pertanyaan dari yang ada dan yang tidak ada tapi ada bisa dicarikan
jawabannya. Dalam tataran ini cukup dimengerti apabila produk pemikiran
filsafat mempengaruhi dan menjadi idiologi suatu masyarakat dari yang terkecil
sampai dalam bentuknya yang paling besar yaitu Negara. Dalam maknanya seperti
itu, dapatlah dijelaskan bahwa filsafat telah memberikan konsep-kosep metafisik
dan kosmis yang bergerak di jagat raya ini dan merupakan dasar dari perenungan,
pencarian dalam filsafat.
Masalah etika itu sendiri merupakan
cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan
dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukandengan penuh kesadaran
berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pulamerupakan
persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik
individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesame
manusia dan dirinya (Musa, 2001).
Oleh karena, etika merupakan salah
satu cabang dari kajian filsafat, maka sangatlah perlu untuk mengupas tuntas
tentang permasalahan etika yang bersandarkan pada ruanglingkup filsafat.
Sehingga dapat diketahuilah tentang pandangan para pemikir atau para ahli
filsafat tentang etika. Tujuan etika dalam hal ini adalah untuk mendapatkan
sesuatu yang ideal bagi semua manusia ditempat manapun dalam waktu apapupun
juga mengenail penilaian baik atau buruk. Namun ukuran baik dan buruk sangat
relatif sebab sangat tergantung pada keadaan suatu daerah dan suasana suatu
masa. Etika menentukan ukuran atas perbuatan manusia. Oleh karena itu, dalam
mengusahakan tujuan etika, manusia pada umumnya menjadikan norma yang ideal
untuk mencapai tujuaan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, rumusan masalah makalah adalah sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan etika yang merupakan cabang dari ilmu filsafat?
2. Bagaimana
perkembangan etika ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana
sikap ilmiah ilmuwan menerapkan etika dalam menerapkan ilmu pengetahuan?
C. Tujuan Penyusunan Makalah
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui dan memahami struktur filsafat serta relasinya dengan etika.
2. Untuk
mendeskripsikan dan mengetahui etika sebagai cabang ilmu filsafat
3. Untuk
mengetahui perbedaan etika, norma dan sikap yang tepat sebagai
mahasiswa/ilmuwan dalam etika ilmu pengetahuan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika
Secara
etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yang
berarti adat, kebiasaan kesusilaan. Pengertian terminologi etika menunjukkan
pada tingkah laku yang didasarkan pada penilaian baik dan benar. Istilah ini di
populerkan oleh Aristoteles. Pada perkembangan selanjutnya, seorang ahli
filsafat, Cicero mengenalkan istilah Moralis yang
kurang lebih bermakna sama. Dalam pandangan normatif, segala sesuatu mempunyai
nilai-nilai yang dijadikan asumsi dasar dalam implementasi (Bagus, Lorenz:
2005).
Etika
(ethos) adalah sebanding dengan moral
(mos) di mana keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan.
Moralitas berasal dari kata mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti ‘adat istiadat’ atau
‘kebiasaan’. Jadi, dalam pengertian ini, etika dan moralitas sama-sama memiliki
arti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia
yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian
terwujud dalam pola perilaku yang tetap dan terulang dalam kurun waktu yang
lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan (Keraf, 1998).
Secara terminologis, De
Vos mendefinisikan etika sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral).
Sedangkan William Lillie mendefinisikannya sebagai the normative science of
the conduct of human being living in societies is a science which judge
this conduct to be right or wrong, to be good or bad. Sedangkan ethic,
dalam bahasa Inggris berarti system of moral principles. Istilah moral
itu sendiri berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores), yang
berarti juga kebiasaan dan adat (Vos, 1987).
Etika
menurut K. Bertens (1994) terdiri dari:
1.
Etika adalah niat,
apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau
buruk sebagai akibatnya.
2.
Etika adalah nurani
(batin), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari
kesadaran dirinya.
3.
Etika bersifat absolut,
artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian
dan yang salah harus mendapat sanksi.
4.
Etika berlakunya, tidak
tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.
Secara umum filsafat berarti upaya
manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis.
Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu
informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak.
Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin,
2001).
Seperti yang kita ketahui bersama
bahwa filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia
atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan
shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah atau berarti.
Pengertian etika juga dikemukakan
oleh Sumaryono (1995), etika berasal dati istilah Yunani ethos yang mempunyai
arti adat-istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut,
etika berkembang menjadi study tentang kebiasaan manusia berdasarkan
kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai
manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang
menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia
yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi,
etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral.
1. Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat
atau kebiasaan yang menggambaran perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat
di aderah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut
diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian
perilaku. Contoh etika perangai:
a. berbusana adat
b. pergaulan muda-mudi
c. perkawinan semenda
d. upacara adat
2. Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan
kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila
etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan
tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral.
Contoh etika moral:
a. berkata dan berbuat jujur
b. menghargai hak orang lain
c. menghormati orangtua dan guru
d. membela kebenaran dan keadilan
e. menyantuni anak yatim/piatu.
Etika
adalah bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang
nilai, norma dan moralitas. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan
pendekatan yang kritis dalam melihat dan mengamati nilai dan norma moral
tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai
dan norma moral itu (Aji dan Sabeni, 2003).
Sebagai
cabang filsafat, etika dapat dibedakan menjadi dua: obyektivisme dan
subyektivisme. Menurut pandangan yang pertama, nilai kebaikan suatu perbuatan
bersifat obyektif yaitu terletak pada substansi perbuatan itu sendiri. Paham
ini melahirkan rasionalisme dalam etika, suatu perbuatan dianggap baik, bukan
karena kita senang melakukannya, tetapi merupakan keputusan rasionalisme
universal yang mendesak untuk berbuat seperti itu. Sedangkan aliran
subyektivisme berpandangan bahwa suatu perbuatan disebut baik bila sejalan
dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu baik subyek Tuhan, subyek
kolektif seperti masyarakat maupun subyek individu (Muhammad, 2004).
Adapula yang mengajukan penggolongan filsafat kedalam tujuh
persoalan, seperti yang dikemukakan De Vos (1987) sebagai berikut:
1. Metafisika
2. Logika
3. Ajaran
tentang ilmu pengetahuan
4. Filsafat
alam
5. Filsafat
kebudayaan
6. Filsafat
sejarah
7. Etika.
Masalah etika itu sendiri merupakan
cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan
dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukandengan penuh kesadaran
berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pulamerupakan
persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya baik
individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesame
manusia dan dirinya (Musa, 2001).
Etika juga dapat dibagi menjadi etika umum dan etika
khusus, etika khusus dibedakan lagi
menjadi dua yaitu etika
individual dan etika sosial. Pembagian etika menjadi etika umum dan etika
khusus ini dipopulerkan oleh Frans
Magnis Suseno (1993) dengan istilah etika deskriptif. Frans Magnis Suseno (1993) menjelaskan bahwa etika umum
membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti
tentang pengertian etika,
fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung
jawab, dan peranan
suara hati. Sedangkan etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari
moral itu pada
masing-masing bidang kehidupan
manusia.
Etika secara umum dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
- Etika Umum
Etika
umum adalah etika yang berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana
manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mangambil keputusan etis,
teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi
manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu
tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas
mengenai pengertian umum dan teori-teori.
- Etika Khusus
Etika khusus
merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang
khusus. Bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan
kegiatan khusus yang dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan
prinsip-prinsip moral dasar. Penerapannya dapat berupa bagaimana mengambil
keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang
dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.
Selain itu penerapannya juga dapat berupa bagaimana menilai prilaku diri dan
orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi
oleh kondisi yang memungkinkan. Etika khusus dibagi menjadi dua bagian :
a. Etika individual
Etika individual menyangkut
kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial
Etika sosial berbicara mengenai
kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia
Etika umum menjelaskan tentang
kajian bagaimana manusia bertindak secra etis, sedangkan etika khusus mengkaji
tentang penerapan-penerapan prinsip-prinsip moral dasardalam bidang kehidupan
yang khusus. Dalam etika umum, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral
dasar menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam
menilai baik buruknya suatu tindakan. Sedangkan dalam etika khusus,
prinsip-prinsip moral dasar tersebut diterapkan dalam wujud bagaimana untuk
mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang
dilakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar,
serta prinsip-prinsip moral dasar tersebut digunakan untuk bagaimana menilai
perilaku diri sendiri maupun perilaku orang lain dalam berbagai kegiatan dan
kehidupan khusus yang dilatar belakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia
untuk bertindak etis. Etika umum lebih terfokus pada kondisi-kondisi dasar
manusia dalam bertindak secara etis serta teori-teorietika dan prinsip-prinsip
moral dasar digunakan sebagai pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak
ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Sedangkan etika khusus
lebih terfokus pada penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang
kehidupan yang khusus.
Cecep Sumarna (dalam Amril, 2002)
membagi kajian filsafat etika kedalam:
1. Etika normatif,
etika yang mengkaji tentang baik buruknya tingkah laku.
2. Etika praktis, kajian etika biasanya menyangkut soal tindakan yang harus
dilakukan oleh manusia.
Menurut Sunoto (1982) etika dapat
dibagi menjadi etika deskritif dan etika normatif. Etika deskritif hanya
melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian,
tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun
etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus
dikerjakan dan yang tidak.
Menurut
K. Bertens, (2007), situasi etis pada zaman modern ini ditandai oleh tiga ciri
antara lain: 1) adanya pluralitas moral; 2) munculnya masalah-masalah etis baru
yang sebelumnya tidak ada; 3) munculnya kesadaran baru di tingkat dunia yang
nampak jelas dengan adanya kepedulian etis yang universal.
Maka
dari itu setidaknya terdapat empat alasan perlunya etika pada zaman ini, yaitu
1.
individu hidup dalam masyarakat yang
semakin pluralistik, termasuk di dalamnya di bidang moralitas.
2.
pada saat ini individu berada dalam
pusaran transformasi masyarakat yang berlangsung sangat cepat. Gelombang
modernisasi membawa perubahan yang mengenai semua segi kehidupan.
3.
bahwa proses perubahan sosial, budaya
dan moral yang terjadi ini sering dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab untuk memancing dalam air keruh.
4.
etika juga diperlukan oleh kaum agamawan (Franz Magnis Suseno, 1993).
Untuk
menjawab persoalan etika adalah sebagai berikut: Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan
etika deskriptif (descriptive ethics), yaitu
mempelajari perilaku pribadi-pribadi manusia atau personal morality dan perilaku kelompok atau social morality.
Dengan menganalisa bermacam-macam aspek dari perilaku manusia, antara lain:
motif, niat dan tindakan-tindakan terbaik yang dilaksanakan. Kedua, pengertian perilaku moral
seperti di atas harus dibedakan dengan apa yang seharusnya (etika normatif).
Apa yang seharusnya dilakukan mendasarkan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip
yang harus dipakai dalam kehidupan manusia. Yaitu dengan menanyakan
bagaimanakah cara hidup yang baik yang harus dilakukan. Ketiga, berkaitan dengan pengertian
praktis. Dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah menjalankan hidup dengan
benar, atau bagaimana cara menjadi manusia yang benar (Harold H. Titus, 1984).
Lebih jelas, lingkup persoalan etika
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Etika Deskriptif
Etika
deskriptif sering menjadi bahasan dalam ilmu sosiologi. Etika deskriptif
bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta
tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan dilapangan penelitian.
Secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa
yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika
deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam pengertian luas, seperti dalam
adat kebiasaan, atau tanggapan-tanggapan tentang baik dan buruk,
tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif
adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang berusaha untuk membuat
deskripsi yang secermat mungkin tentang yang dianggap tidak baik yang berlaku
atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif hanya
melukiskan tentang suatu nilai dan tidak memberikan penilaian.
2. Etika Normatif
Etika
dipandang sebagai suatu ilmu yang mempunyai ukuran atau norma standar yang
dipakai untuk menilai suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau kelompok
orang. Dalam hal ini etika normatif menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang
seharusnya terjadi atau yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau kelompok
orang. Etika normatif tidak seperti etika deskriptif yang hanya melibatkan dari
luar sistem nilai etika yang berlaku, tetapi etika normatif melibatkan diri
dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
3. Etika praktis
Etika
praktis mengacu pada pengertian sehari-hari, yaitu persoalan etis yang dihadapi
seseorang ketika berhadapan dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam
tindakannya sehari-hari.
4. Etika Individual dan Etika
Sosial
Adalah
etika yang bersangkutan dengan manusia sebagai perseorangan saja. Di samping
membicarakan kualitas etis perorangan saja, etika juga membicarakan hubungan
pribadi manusia dengan lingkungannya seperti hubungan dengan orang lain. Etika
individu berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari
perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah laku yang
dilakukan oleh perseorangan sebagai bagian kesatuan yang lebih besar (Ahmad
Charis Zubair, 1995).
B. Pengertian Norma
Norma berasal dari bahasa latin
yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang
digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai
pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai
untuk mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang
dapat menilai kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Jadi secara terminologi
kiat dapat mengambil kesimpulan menjadi dua macam. Pertama, norma menunjuk suatu
teknik. Kedua, norma menunjukan suatu keharusan. Kedua makna tersebut lebih
kepada yang bersifat normatif. Sedangkan norma norma yang kita perlukan adalah
norma yang bersifat prakatis, dimana norma yang dapat diterapkan pada
perbuatan-perbuatan konkret.
Norma mencakup aturan-aturan ataupun
sanksi-sanksi. Hal itu bertujuan untuk mendorong atau menekan anggota
masyarakat untuk mematuhi nilai-nilai sosial agar tercipta ketertiban dan
perdamaian dalam kehidupan sosial. Norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu norma berdasarkan resmi tidaknya dan norma berdasarkan kekuatan
sanksinya.
1. Norma berdasarkan Resmi Tidaknya
Menurut
resmi tidaknya, keseluruhan norma kelakuan hidup masyarakat dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu norma tidak resmi dan norma resmi.
a. Norma tidak resmi
ialah norma yang patokannya dirumuskan secara tidak jelas dan
pelaksanaannya tidak diwajibkan bagi warga yang bersangkutan. Norma tidak resmi
tumbuh dari kebiasaan bertindak yang seragam dan diterima oleh masyarakat.
Patokan tidak resmi dijumpai dalam kelompok primer seperti keluarga, kumpulan
tidak resmi, dan ikatan paguyuban.
b. Norma resmi (formal) ialah norma yang patokannya dirumuskan
dan diwajibkan dengan jelas dan tegas oleh pihak yang berwenang kepada semua
warga masyarakat. Keseluruhan norma formal ini merupakan suatu tubuh hukum yang
dimiliki oleh masyarakat modern, sebagian dari patokan resmi dijabarkan dalam
suatu kompleks peraturan hukum (law). Masyarakat adat diubah menjadi masyarakat
hukum. Patokan resmi dapat dijumpai, antara lain dalam perundang-undangan,
keputusan, dan peraturan.
2. Norma berdasarkan Kekuatan Sanksinya
Dalam berbagai aspek kehidupan
sehari-hari, norma memiliki sanksi-sanksi tersendiri yang berbeda tingkat
kekuatannya. Adapun jenis norma berdasarkan kekuatan sanksinya adalah seperti
diuraikan berikut ini.
a. Norma agama adalah suatu petunjuk hidup yang berasal dari
Tuhan bagi penganutnya agar mereka mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Jadi, norma agama berisikan peraturan hidup yang diterima sebagai
perintah-perintah, laranganlarangan, dan anjuran-anjuran yang berasal dari
Tuhan. Misalnya, semua agama mengajarkan agar umatnya tidak berdusta atau
berzina. Apabila dilanggar, sanksinya adalah rasa berdosa.
b. Norma kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari
pergaulan segolongan manusia dan dianggap sebagai tuntutan pergaulan
sehari-hari sekelompok masyarakat. Satu golongan tertentu dapat menetapkan
peraturan-peraturan tertentu mengenai kesopanan dalam masayarakat itu.
Misalnya, pada kelompok masyarakat tertentu, kita dilarang meludah sembarangan.
c. Norma kelaziman adalah tindakan manusia mengikuti kebiasaan
yang umumnya dilakukan tanpa pikir panjang karena kebiasaan itu dianggap baik,
patut, sopan, dan sesuai dengan tata krama. Segala tindakan tertentu yang
dianggap baik, patut, sopan, dan mengikuti tata laksana seolah-olah sudah
tercetak dalam kebiasaan sekelompok manusia. Misalnya, cara makan, minum,
berjalan, dan berpakaian.
d. Norma kesusilaan adalah pedoman-pedoman yang mengandung makna
dan dianggap penting untuk kesejahteraan masyarakat. Norma kesusilaan bersandar
pada suatu nilai kebudayaan. Norma kesusilaan itu dianggap sebagai aturan yang
datang dari suara hati manusia. Penyimpangan dari norma kesusilaan dianggap
salah atau tidak bermoral sehingga pelanggarnya akan menjadi bahan sindiran
atau ejekan. Misalnya, di Jawa, anak yang berjalan melewati orang tua harus
membungkukkan badan tanda menghormati orang tua tersebut. Apabila anak tidak
melakukan hal tersebut akan disindir karena tindakannya dianggap asusila.
e. Norma hukum adalah aturan tertulis maupun tidak tertulis yang
berisi perintah atau larangan yang memaksa dan akan memberikan sanksi tegas
bagi setiap orang yang melanggarnya.
f. Mode adalah cara dan gaya dalam melakukan dan membuat sesuatu
yang sifatnya berubah-ubah serta diikuti oleh banyak orang. Ciri-ciri utama
mode adalah orang yang mengikuti bersifat massal dan mencakup berbagai kalangan
dalam masyarakat.
Dengan tidak adanya norma maka
kiranya kehidupan manusia akan manjadi brutal. Pernyataan tersebut dilatar
belakangi oleh keinginan manusia yang tidak ingin tingkah laku manusia bersifat
senonoh. Maka dengan itu dibutuhkan sebuah norma yang lebih bersifat praktis.
Memang secara bahasa norma agak bersifat normatif akan tetapi itu tidak
menuntup kemungkinan pelaksanaannya harus bersifat praktis.
Berikut ini adalah macam-macam
norma:
a. Norma agama, yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai
perintah, larangan, dan anjuran yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Para
pemeluk agama mengakui dan mempunyai keyakinan bahwa peraturan-peraturan hidup
berasal dari Tuhan dan merupakan tuntutan hidup ke arah jalan yang benar, oleh
sebab itu harus ditaati oleh para pemeluknya.
b. Norma hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh negara dengan
hukuman tegas dan memaksa sehingga berfungsi mengatur ketertiban dalam
masyarakat. Norma hukum digunakan sebagai pedoman hidup yang dibuat oleh badan
berwenang untuk mengatur manusia dalam berbangsa dan bernegara.
c. Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari
pergaulan manusia. Peraturan itu ditaati dan diikuti sebagai pedoman tingkah
laku manusia terhadap manusia lain di sekitarnya.
d. Norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang datang dari hati
sanubari manusia. Peraturan tersebut berupa suara batin yang diakui dan
diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman sikap dan perbuatan. Hukuman bagi
pelanggaran terhadap norma kesusilaan berupa penyesalan diri dan rasa bersalah.
Fungsi
Norma :
1. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
msayarakat dalam rangka mencapai masyarakat yang sejahtera, tentram, tertib dan
aman.
2. Sebagi pedoman cara berfikir dan bertindak
3. Sebagi pedoman yang mengatur kehidupan masyarakat.
C. Etika Ilmu Pengetahuan
Ilmu
mengungkapkan realitas sebagaimana adanya. Hasil- hasil kegiatan keilmuan
memberikan alternatif untuk membuat keputusan politik dengan mengacu pada
pertimbangan etika dan moral (Surajiyo, 2007).
Liang Gie (1987) dalam Ihsan Fuad
(2010) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang
mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional
empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti
manusia.
Menurut Bahm (dalam Ihsan Fuad,
2010) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude), metode (method),
aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects).
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah
menurut Liang Gie (1987) dalam Ihsan
Fuad (2010) mempunyai lima ciri pokok :
1. Empiris, pengetahuan diperoleh
berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2. Sistematis, berbagai keterangan dan
data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan
ketergantungan dan teratur.
3. Objektif, pengetahuan itu bebas dari
prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi.
4. Analitis, pengetahuan ilmiah
berusaha membedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk
memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.
Verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun jug (Surajiyo,2009).
Menurut Muhammad (2004) ada beberapa
konsep dasar yang berhubungan dengan etika. Masing-masing konsep tersebut
memiliki arti berbeda, yaitu:
1.
Etika adalah norma
manusia harus berjalan, bersikap sesuai nilai/norma yang ada.
2.
Moral merupakan aturan
dan nilai kemanusiaan (human conduct
& value), seperti sikap, perilaku, dan nilai
3.
Etiket adalah tata krama/sopan
santun yang dianut oleh suatu masyarakat dalam kehidupannya .
4.
Nilai adalah penetapan
harga sesuatu sehingga sesuatu itu memiliki nilai yang terukur
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan
yang datang demikian saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia
khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian dalam
tentang sesuatu obyek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengeta-huan yang ilmiah. Ilmiah
dalam arti bahwa sistem dn struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan seca-ra
terbuka. Disebabkan oleh karena itu pula ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah
pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional,
logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang
ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu juga masalah mendasar yang
dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kokoh kuat adalah
masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tak dapat disangkal bahwa
ilmu telah membawa manusia kearah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi
dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia
bukan sebaliknya. Disinilah letak tang-gung jawab seorang ilmuwan, moral dan
akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya penting bagi para ilmuwan memiliki sikap
ilmiah.
D. Kaitan Ilmuwan
dengan Etika
Aholiab
Watloly (2001) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal memahami
tanggungjawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab, secara
etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu; tanggung dan
jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini, wajib
menanggung dan wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri
maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu, ilmuwan,
dan lembaga keilmuan bukan hanya berdiri di depan tugas keilmuannya untuk
mendorong kemajuan ilmu, dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga
harus berdiri di belakang setiap akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Salah satu
ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu adalah sifat keterbatasan. Tanggung
jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan, dalam arti bahwa, tanggung jawab
itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan sendiri oleh ilmu dan ilmuwan sebagai
manusia, tetapi merupakan pemberian kodrat. Sebagaimana manusia tidak dapat
menciptakan dirinya sendiri, tetapi menerimanya sebagai pemberian kodrat maka
demikian pula halnya ia tidak dapat menciptakan tanggung jawab. Manusia hanya
menerima dirinya dan tanggung jawabnya, serta menjalaninya sebagai sebuah
panggilan kodrati dan tunduk padanya.
Hubungan etika dan ilmu berarti juga penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggung jawab etis
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini
berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab
pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena
pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut. Manusia
disebut etis adalah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi
hajat hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pribadi
dengan orang lain, antara rohani dengan jasmani, dan sebagai makhluk
ciptaan-Nya. Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran
yang kritis, yang dapat membedakan antara apa yang sah dan yang tidak sah,
membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.
E. Sikap Ilmiah Ilmuwan
Manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama dengan
alam dan berada di dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan
membudayakan dirinya bilamana manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya.
Manusia yang merupakan bagian alam tidak hanya merupakan bagian yang terlepas
darinya. Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai dengan
martabatnya maka manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa merupakan
pusat dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan
alam ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itulah, maka
manusia harus senantiasa menjaga keles-tarian alam dalam keseimba-ngannya yang
bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja
sebagai manusia biasa lebih-lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga
kelesta-rian dan keseimbangan alam yang juga bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang
keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral yaitu moral
khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga
sebagai sikap ilmiah. (Abbas Hamami M., 1996)
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini
disebabkan oleh karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat obyektif. Sikap ilmiah bagi
seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana
cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam
semesta ini, serta dapat dipertanggungawabkan kepada Tuhan. Artinya selaras
dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas
Hamami M., (1996) sedikitnya ada enam , yaitu:
1.
Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap
yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan
menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2.
Bersikap selektif, yaitu suatu sikap
yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai
hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang
masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau , cara penyimpulan
yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.
3.
Adanya rasa percaya yang layak baik
terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
4.
Adanya sikap yang berdasar pada
suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa
setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5.
Adanya suatu kegiatan rutin bahwa
seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah
dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai
aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6.
Seorang ilmuwan harus memiliki sikap
etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan
ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan
negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan
secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya
seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik,
sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan
ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan
komunal.
Disamping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada
kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi
kelompok-kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis,
etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya.
Suatu fenomena sebagaimana ditentukan oleh pusat perhatian
ilmuwan menjadi obyek sebenarnya dari cabang suatu ilmu. Berbagai keterangan
mengenai obyek sebenarnya dituangkan dalam pernyataan yang memuat pernyataan
ilmiah mempunyai empat bentuk, yaitu:
a. Deskripsi
Merupakan kumpulan pernyataan bercorak deskriptif dengan
memberikan pemerian mengenai bentuk, susunan, peranan, dan hal-hal terperinci
lainnya dari fenomena yang bersangkutan. Bentuk ini umumnya terdapat pada
cabang ilmu-ilmu khusus, terutama yang bercorak deskriptif seperti ilmu anatomi
atau geografi
b. Preskrepsi
Ini merupakan kumpulan pernyataan bercorak preskriptif
dengan memberikan petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang
perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan dalam kaitannya dengan obyek
sederhana itu. Ilmu ini dapat dijumpai dalam cabang-cabang ilmu sosial, seperti
ilmu pendidikan yang memuat petunjuk-petunjuk cara mengajar yang baik didalam
kelas.
c. Eksposisi pola
Bentuk ini merangkum
pernyataan-pernyataan yang merangkum pola-pola dalam sekumpulan sifat, ciri,
kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena yang ditelaah. Seperti dalam
sosiologi yang memaparkan pola-pola perubahan masyarakat pedesaan menjadi
masyarakat kota.
d. Rekonstruksi historis
Bentuk ini berusaha merangkum
pernyataan-pernyataan yang berusaha mengambarkan atau menceritakan dengan
penjelasan atau alasan yang diperlukan mengenai pertumbuhan sesuatu hal pada
masa lampau baik secara alamiah atau karena campur tangan manusia.
Cabang-cabang ilmu yang banyak mengandung ilmu khusus ini misalnya
historigrafi, ilmu purbakala, dll.
Dari sejumlah fenomena alam yang
teramati seorang ilmuwan memiliki masalah mana yang patut mendapatkan perhatian
bila masalah ini telah diidentifikasikan dan dirumuskan lebih lebih tegas, maka
dilakukan proses pengamatan dan pengamatan dan pengukuran ditarik kesimpulan
yang boleh jadi berbentuk pengujian teori. Bila teori ini digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah praktis atau membimbing kegiatan operasional,maka
berarti kita sudah masuk ke dalam penerapan ilmu,kita akan melihat bahwa dalam
seluruh tahap ini etika tidak dapat diabaikan atau dipinggirkan. Dengan rumusan ruang lingkup filsafat sebagaimana diuraikan
di atas, menjelaskan bahwa salah satu kajian besar dalam filsafat adalah
persoalan etika dan juga estetika yang tertuang dengan kesopanan dan kesatunan.
Kelebihan seorang ilmuwan adalah bahwa
ia bisa berpikir secara teratur dan cermat sehingga dengan kemampuan inilah, ia
sekaligus memiliki tanggung jawab social untuk memperbaiki dan meluruskan
pikiran masyarakat yang keliru. Kebenaran epistemologis dalam hubungannya
dengan tanggungjawabnya sosialnya, bukan saja berfungsi sebagai jalan pikiran
yang tertata secara epsitemologis, namun seluruh hidup dan kehidupan ilmuwan
merupakan prototype kebenaran itu sendiri. Khusus dalam bidang etika, ilmuwan
bertanggungjawab untuk mengarahkan kehidupan yang lebih objektif, terbuka, dan
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam memperjuangkan
kebenaran, kalau perlu mengakui kesalahannya secara terbuka didepan masyarakat
(Watloly, Aholiab: 2001).
F.
ILMU BEBAS NILAI DAN ILMU TIDAK BEBAS
NILAI
Josep Situmorang (dalam Surajiyo, 2005) menyatakan bahwa
bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan
pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur
tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan
itu sendiri.
Ilmu pengetahuan yang bebas nilai juga
bertujuan agar ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran ilmiah yang objektif
dan rasional (Keraf & Dua, 2001). Tidak dibenarkan bila suatu ilmu
pengetahuan hanya berlaku bagi kepentingan suatu pihak tertentu. Jika demikian
maka ilmu pengetahuan tidaklah bersifat universal. Maka suatu ilmu pengetahuan
yang bebas nilai amatlah penting. Hal itu untuk mencapai tujuan akhir
diciptakannya ilmu pengetahuan. Tujuan akhir dari ilmu pengetahuan ini ialah
untuk mencari dan memberi penjelasan tentang fenomena dalam alam semesta ini,
serta memberi pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah clan fenomena
dalam hidup (Keraf & Dua, 2001).
Surajiyo
menjelaskan ada tiga faktor yang dapat digunakan sebagai indikator bahwa ilmu
pengetahuan itu bebas nilai, yaitu:
1. Ilmu harus bebas dari
pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis,
ideologi, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.
2. Perlunya kebebasan
usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin.
3. Penelitian ilmiah
tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan
ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Berbeda dengan ilmu yang bebas
nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau terikat nilai (valuebond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan
harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu yang
terikat nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari
kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dsb.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pemaparan
K Bertens (2004) yang sudah disampaikan di Bab 2 dapat disimpulkan bahwa etika memiliki
tiga posisi, yaitu sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya, (2) kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai moral, dan (3) filsafat
moral, yakni ilmu tentang yang baik atau buruk. Dalam poin ini, akan ditemukan
keterkaitan antara etika sebagai sistem filsafat sekaligus artikulasi
kebudayaan.
Dengan
demikian, norma sangat diperlukan oleh masyarakat dalam mengatur hubungan antar
anggota masyarakat. Etika pada akhirnya membantu untuk mengambil keputusan
tentang tindakan apa yang perlu di lakukan dan yang perlu di pahami bersama
bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan.
Ada
hubungan yang sangat erat antara
filsafat, etika dan ilmu. Landasan filosofis ini menjadikan ilmu masih tetap pada hakekat keilmuannya. Ilmu sebabagi bidang yang otonom
tidak bebas nilai. Ia selalu berkaitan dengan nilai-nilai etika terutama dalam
penerapan ilmu. Etika sebagai salah satu cabang dalam filsafat akan memberikan
arahan (guiedence) bagi gerak ilmu,
sehingga membawa kemanfaatan bagi manusia. Jadi
bisa disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu moral/ilmu akhlaq yang
mengindikasikan hal-hal pra tindakan yang berupa pengetahuan serta pemikiran
tentang hal/tindakan baik dan buruk.
B.
Saran
Etika
berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia dan sebagai calon
ilmuwan (mahasiswa) yang sudah mempelajari ilmu filsafat hendaknya beretika dan
bertanggungjawab dalam upaya memecahkan masalah-masalah sehari-hari yang sudah
pasti menerapkan dengan ilmu pengetahuan sebagai senjata.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta:
Gramedia.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, Sony. 1998. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya.
Yogyakarta: PT
Kanisius.
Seseno, Franz Magnus.1993. Etika Sosial,
Jakarta: PT Gramedia.
Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar). Jakarta: Bumi Aksara.